Surat Al-Kahfi, surat ke-18 dalam Al-Qur'an, sarat dengan pelajaran moral dan spiritual yang mendalam. Salah satu bagian paling ikonik dari surat ini adalah kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua), yang kisahnya berlanjut dari ayat 21 hingga ayat 26. Namun, bagian yang dibahas kali ini, yaitu dari ayat 21 hingga 40, melampaui sekadar kisah tidur panjang mereka, membawa kita pada perbandingan antara dua jenis kekayaan dan nasib orang yang beriman versus orang yang kufur.
Setelah menceritakan bagaimana Allah menidurkan para pemuda mukmin selama ratusan tahun (Ayat 11-20), ayat-ayat selanjutnya (Ayat 21-26) merinci reaksi masyarakat saat mereka terbangun. Penemuan mereka membuat geger. Orang-orang mulai berselisih paham mengenai berapa lama mereka tertidur. Ada yang berpendapat dua ratus tahun ditambah sembilan, ada pula yang mengatakan tiga ratus tahun.
وَكَذَٰلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيهَا إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ ۖ فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِم بُنْيَانًا ۖ رَّبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ ۚ قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَىٰ أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِم مَّسْجِدًا
(Dan demikian pula Kami perlihatkan (manusia) kepada mereka, agar mereka tahu, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat itu tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih faham tentang urusan mereka, mereka berkata: "Dirikanlah sebuah bangunan untuk menutupi (tempat) mereka." Tuhan mereka lebih mengetahui keadaan mereka. Orang-orang yang menang dalam urusan mereka berkata: "Kita pasti akan mendirikan rumah ibadat di atas mereka.")
Ayat ini menegaskan bahwa peristiwa ini adalah bukti nyata dari kekuasaan Allah. Tidur panjang mereka adalah isyarat bahwa janji kebangkitan (kiamat) adalah pasti. Perdebatan mengenai jumlah tahun menunjukkan bahwa hikmah di balik kisah ini lebih penting daripada detail waktu. Bahkan, ketika mereka telah menjadi legenda, manusia tetap cenderung membangun monumen atau tempat ibadah di atas makam mereka—sebuah fenomena yang seringkali menjadi titik awal kemusyrikan di kemudian hari.
Setelah membahas Ashabul Kahfi, Allah Subhana wa Ta'ala mengalihkan fokus narasi ke perumpamaan kontras antara dua pemilik kebun (Ayat 32-44). Ini adalah pelajaran yang sangat relevan bagi mereka yang terlalu bergantung pada harta duniawi.
Pemilik kebun pertama adalah orang yang dianugerahi kesuburan luar biasa. Ketika ia melihat hasil panennya melimpah, ia menjadi sombong. Ia lupa bahwa semua kekayaan itu adalah titipan dan karunia dari Allah. Dalam kesombongannya, ia berkata kepada temannya yang beriman:
مَا أَظُنُّ أَن تَبِيدَ هَٰذِهِ أَبَدًا
("Aku tidak menyangka bahwa kebun ini akan binasa selama-lamanya.")
Ia bahkan meremehkan temannya yang mengingatkannya akan kematian dan keesokan hari (akhirat), dan ia sangat yakin dengan hartanya yang fana. Kepercayaan buta pada harta ini akhirnya dihukum oleh Allah. Suatu malam, kebunnya dihancurkan oleh siksa Allah (kemungkinan badai atau api), hingga menjadi tandus.
Ketika menyaksikan kehancuran hartanya, penyesalannya amat besar, namun sudah terlambat. Ia baru menyadari bahwa kekuasaan Allah jauh melampaui kekuatannya dalam mengelola kekayaan.
Ayat 35 hingga 40 menguatkan pelajaran ini. Pemilik kebun yang kufur itu akhirnya mengakui:
وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ۚ إِن تَرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنكَ مَالًا وَوَلَدًا
("Sekiranya kiranya, ketika engkau memasuki kebunmu, engkau mengucapkan, 'Apa yang dikehendaki Allah (terjadi)! Tidak ada kekuatan kecuali dengan Allah!' Sekalipun engkau melihat aku lebih sedikit darimu dalam harta dan keturunan.")
Ini adalah kontras yang tajam. Pemilik kebun yang beriman mengajarkan bahwa seharusnya kekayaan diiringi dengan kerendahan hati dan pengakuan mutlak bahwa semua adalah kehendak Allah (*Ma sya Allah, La Quwwata Illa Billah*).
Ayat-ayat ini secara keseluruhan mengajarkan pentingnya menjaga keimanan di tengah godaan dunia. Kekayaan dan kesenangan duniawi, meskipun tampak permanen, sesungguhnya rapuh dan dapat lenyap seketika. Sebaliknya, janji Allah bagi orang yang beriman, seperti yang ditunjukkan melalui kisah Ashabul Kahfi yang dilindungi dan dikembalikan ke dunia dalam keadaan selamat, adalah kekal dan pasti. Surat Al-Kahfi ayat 21-40 adalah pengingat kuat untuk selalu mengaitkan setiap nikmat yang diterima dengan syukur kepada Sang Pemberi, bukan malah terlena dan lupa akan tujuan akhir kehidupan.