Surat Al-Kahfi, yang berarti "Gua", adalah salah satu surat istimewa dalam Al-Qur'an. Surat ini terdiri dari 110 ayat dan dikenal membawa banyak hikmah, terutama terkait dengan ujian kehidupan, fitnah, dan pentingnya kesabaran serta tauhid. Kisah utama di dalamnya berpusat pada Ashabul Kahfi (pemuda penghuni gua), kisah Nabi Musa dengan Khidir, serta kisah Dzulkarnain.
Salah satu ayat kunci dalam surat ini adalah ayat ke-17, yang secara langsung menggambarkan kondisi fisik dan spiritual para pemuda saat mereka tertidur di dalam gua selama ratusan tahun. Ayat ini memberikan gambaran nyata tentang pemeliharaan Allah SWT terhadap mereka.
Berikut adalah teks Arab, transliterasi, dan terjemahan dari Surat Al-Kahfi ayat 17:
*Wa tarash-shamsi idza ṭalaʿat tazāwaru ʿan kahfihim dhātal-yamīni wa idzā gharabat taqriḍuhum dhātrash-shimāli wa hum fī fajwatin minhu. Dzalika min āyātillah. Man yahdillāhu fa huwal-muhtad, wa man yuḍlil falan tajida lahu waliyyan murshidā.*
"Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, ia cenderung menjauhi gua mereka ke sebelah kanan, dan ketika ia terbenam, ia berlalu menjauhi mereka ke sebelah kiri, sedang mereka berada dalam rongga gua itu. Itulah di antara tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa disesatkan-Nya, niscaya kamu tidak akan menemukan penolong yang dapat memberi petunjuk kepadanya."
Ayat 17 ini bukan sekadar deskripsi astronomis, melainkan sebuah bukti nyata dari pemeliharaan ilahi. Bayangkan, gua tempat mereka bersembunyi memiliki posisi strategis sehingga:
Allah SWT mengatur pergerakan matahari sehingga sinar langsung matahari tidak pernah menyengat tubuh para pemuda tersebut. Ketika pagi tiba (طلوع - ṭalāʿ), matahari meninggi ke arah kanan gua (dzātal-yamīn), yang berarti cahaya masuk secara miring dan tidak menusuk. Demikian pula saat sore (ghurūb), matahari menjauhi mereka ke sebelah kiri (dzātrash-shimāl).
Ini menunjukkan bahwa perlindungan Allah tidak hanya meliputi aspek spiritual (iman mereka), tetapi juga aspek fisik mereka, memastikan istirahat mereka sempurna selama tidur panjang tersebut. Dalam konteks ujian, ini mengajarkan bahwa pertolongan Allah datang dalam bentuk yang paling lembut dan terencana.
Frasa "wa hum fī fajwatin minhu" (sedang mereka berada dalam rongga gua itu) mengindikasikan bahwa tempat mereka bukanlah ceruk sempit, melainkan sebuah ruang terbuka di dalam gua. Posisi ini memastikan sirkulasi udara yang baik dan mencegah kelembaban atau panas berlebih, faktor-faktor yang krusial bagi kelangsungan hidup jasad mereka dalam jangka waktu yang lama.
Ayat ini ditutup dengan penegasan: "Dzalika min āyātillah" (Itulah di antara tanda-tanda kebesaran Allah). Fenomena ini adalah mukjizat yang kasat mata, bukti bahwa Tuhan yang mereka sembah memiliki kuasa mutlak atas hukum alam.
Bagi mereka yang mencari petunjuk, peristiwa ini menjadi peneguh iman. Namun, bagi yang telah Allah tetapkan sesat, meskipun melihat keajaiban nyata, mereka tetap tidak akan mampu mengambil pelajaran atau mencari penunjuk jalan yang benar (Waliyyan Murshidā). Ini menekankan pentingnya hati yang terbuka untuk menerima hidayah.
Di masa kini, fitnah dan godaan sangat beragam, mirip dengan ujian yang dihadapi pemuda Ashabul Kahfi. Ketika kita menghadapi tantangan iman atau tekanan sosial untuk menyimpang dari keyakinan, Ayat 17 mengingatkan kita bahwa Allah mampu menciptakan "gua" perlindungan bagi kita, meskipun secara logika tampak mustahil.
Ketergantungan total (tawakkul) kepada Allah, seperti yang ditunjukkan oleh para pemuda tersebut, adalah kunci. Ketika kita memilih jalan kebenaran, kita harus yakin bahwa meskipun dunia tampak berbalik melawan kita, ada mekanisme ilahi yang bekerja untuk menjaga integritas dan keselamatan spiritual kita, sama seperti matahari yang diatur agar tidak menyengat tidur mereka. Ayat ini mengajak kita untuk senantiasa merenungkan kekuasaan-Nya dalam setiap detail alam semesta, dan memohon agar kita selalu termasuk golongan yang diberi petunjuk-Nya.