Ilustrasi kisah Ahlul Kahfi (Penghuni Gua)
Allażīna kānat a‘yunuhum fī ghiṭā’in ‘an żikrī wa kānū lā yastatī‘ūna sam‘ā.
(Yaitu) orang-orang yang matanya tertutup dari memperhatikan tanda-tanda-Ku, dan mereka tidak sanggup mendengar.
Surat Al-Kahfi, yang berarti "Gua", adalah salah satu surat terpanjang dalam Al-Qur'an dan memiliki kedudukan istimewa, terutama karena mengandung kisah-kisah teladan yang relevan sepanjang masa. Ayat 101, yang kita bahas ini, muncul setelah Allah SWT menjelaskan tentang keadaan orang-orang kafir Mekkah yang keras kepala dalam menolak kebenaran dan bagaimana mereka akan menghadapi konsekuensi dari penolakan tersebut.
Ayat ini secara spesifik menggambarkan kondisi spiritual dan mental mereka yang menolak iman. Kata kunci utamanya adalah "mata yang tertutup dari memperhatikan tanda-tanda-Ku" (غِطَاءٍ عَنْ ذِكْرِي - *ghiṭā’in ‘an żikrī*). Ini bukan sekadar ketidakmampuan fisik untuk melihat, melainkan sebuah kebutaan hati atau spiritual. Tanda-tanda Allah (ayat) tersebar di seluruh alam semesta—dari penciptaan langit dan bumi hingga keajaiban yang terjadi pada para nabi dan mukjizat dalam Al-Qur'an itu sendiri. Namun, bagi mereka yang hatinya tertutup, semua tanda tersebut hanya berlalu tanpa meninggalkan bekas atau pelajaran.
Kondisi ini diperkuat dengan frasa kedua: "dan mereka tidak sanggup mendengar" (وَلَا يَسْتَطِيعُونَ سَمْعًا - *wa lā yastatī‘ūna sam‘ā*). Jika mata hati mereka sudah tertutup, maka telinga spiritual mereka juga terkunci. Mereka mungkin mendengar suara ayat suci dibacakan, namun pemahaman, perenungan, dan penerimaan tidak terjadi. Telinga mereka berfungsi secara fisik, tetapi tidak berfungsi sebagai alat untuk menerima hidayah. Ini adalah deskripsi sempurna mengenai penguncian hati yang disebabkan oleh kesombongan, kekufuran yang mendarah daging, dan penolakan aktif terhadap kebenaran.
Ayat ini memberikan pelajaran penting bagi umat Muslim saat ini. Seringkali, seseorang mungkin berinteraksi dengan ajaran Islam, mendengarkan ceramah, atau bahkan membaca Al-Qur'an, namun tidak ada perubahan signifikan dalam perilaku atau keyakinannya. Hal ini mengindikasikan adanya potensi "selubung" atau "tirai" yang menghalangi mereka. Al-Qur'an mengajarkan bahwa hidayah adalah karunia yang diberikan oleh Allah kepada hati yang terbuka dan mau merendahkan diri untuk mencari kebenaran.
Ayat 101 ini sangat kontras dengan kondisi Ashabul Kahfi (Pemuda Ashabul Kahfi) yang namanya dinisbahkan pada surat ini. Para pemuda tersebut memilih meninggalkan kenyamanan duniawi demi menjaga keimanan mereka. Meskipun mereka masih muda dan berada di tengah lingkungan yang menolak tauhid, hati mereka terbuka, mata mereka awas terhadap kebesaran Allah, dan telinga mereka siap mendengar kebenaran. Mereka berhasil melepaskan diri dari "selubung" yang menutupi mata dan telinga mayoritas masyarakat mereka pada saat itu.
Kisah-kisah dalam Surat Al-Kahfi, termasuk pembahasan tentang Dajjal di akhir surat, seringkali dihubungkan dengan ujian terbesar di akhir zaman, yaitu ujian keagamaan. Ayat 101 mengingatkan kita untuk senantiasa memohon kepada Allah agar hati kita tidak dikunci, mata kita tidak ditutup, dan telinga kita tidak tuli terhadap seruan kebenaran. Membaca surat ini pada hari Jumat, sebagaimana anjuran Rasulullah SAW, diharapkan dapat menjadi cahaya pelindung dari fitnah-fitnah yang seringkali menyesatkan pandangan dan pendengaran kita.