Surat Al-Kahfi, surat yang penuh dengan kisah peringatan, hikmah, dan penjelasan tentang hakikat kehidupan duniawi, selalu menjadi bacaan istimewa bagi umat Islam, terutama di hari Jumat. Salah satu ayat yang sangat mendalam dan sering menjadi perenungan adalah ayat ke-101. Ayat ini membuka tirai tentang keadaan orang-orang kafir atau yang berpaling dari kebenaran di akhirat kelak.
Artinya: "Dan mereka tidak mempunyai kelompok pun yang dapat menolong mereka selain Allah; dan mereka tidaklah (mampu) menolong diri sendiri."
Ayat 101 ini melanjutkan deskripsi muram tentang kondisi orang-orang yang telah memilih jalan kesesatan selama hidup mereka di dunia. Ayat ini merupakan puncak dari pengungkapan bahwa pertolongan yang mereka anggap nyata di dunia, ternyata sirna tak berbekas saat azab Allah menimpa.
Sebelum ayat 101, Allah SWT menjelaskan tentang bagaimana mata mereka tertutup dari ayat-ayat-Nya dan bagaimana mereka enggan mendengarkan kebenaran. Dalam konteks ayat sebelumnya (98-100), disebutkan bahwa mereka telah menjadikan Al-Qur'an dan kebenaran sebagai bahan olok-olok. Ayat 101 menegaskan konsekuensi logis dari pilihan tersebut.
"Dan mereka tidak mempunyai kelompok pun yang dapat menolong mereka selain Allah." Frasa ini menyentuh inti dari ilusi duniawi: kekuasaan, harta, dan pengikut. Orang-orang yang sombong dan mendustakan ayat Allah seringkali merasa aman karena dikelilingi oleh 'pasukan' atau kelompok pendukung. Mereka mungkin memiliki kekuatan ekonomi, politik, atau popularitas massa yang membuat mereka merasa tak terkalahkan.
Namun, ketika hari penghisaban tiba, semua struktur kekuatan tersebut runtuh. Mereka menyadari bahwa harta tidak bisa membeli ampunan, popularitas tidak bisa menghalangi siksa, dan kelompok mereka tidak memiliki otoritas di hadapan Pencipta alam semesta. Pertolongan yang sejati hanya bersumber dari satu Zat, yaitu Allah SWT.
"Dan mereka tidaklah (mampu) menolong diri sendiri." Ini adalah penekanan kedua yang jauh lebih personal. Bukan hanya kelompok mereka yang gagal, tetapi diri mereka sendiri pun tidak memiliki kekuatan untuk menolak atau meringankan azab yang menanti. Ini menunjukkan kelemahan hakiki manusia ketika dihadapkan pada kekuatan ilahi. Semua upaya pembelaan diri, argumentasi palsu, atau upaya negosiasi menjadi nihil.
Ayat ini berfungsi sebagai cermin yang menampakkan kesia-siaan bergantung pada selain Allah. Ini bukan sekadar hukuman fisik, tetapi juga kehancuran mental dan spiritual karena sadar bahwa mereka telah salah memilih prioritas hidup.
Bagi seorang Muslim, ayat ini menjadi pengingat keras agar tidak terbuai oleh gemerlap dunia. Ada tiga pelajaran utama yang bisa dipetik:
Kekuatan sejati datang dari hubungan yang tulus dengan Allah. Ketergantungan total (tawakkal) dan ketaatan kepada-Nya adalah satu-satunya "kelompok penolong" yang pasti berhasil. Ketika seorang mukmin menghadapi kesulitan, ia tahu bahwa penolong utamanya adalah Allah, bukan jabatan atau kekayaan.
Banyak orang tersesat karena merasa kuat bersama kawanannya. Mereka saling menguatkan dalam kesesatan, menciptakan ilusi kebenaran kolektif. Surat Al-Kahfi 101 mengajarkan bahwa kebenaran tidak diukur dari banyaknya pendukung, melainkan dari kesesuaiannya dengan wahyu.
Ayat ini mengarahkan pandangan kita ke masa depan yang pasti—kematian dan kebangkitan. Dunia ini adalah tempat ujian, bukan tempat bersandar. Jika kita tidak memanfaatkan kesempatan di dunia untuk mencari ridha-Nya, di akhirat kita akan menghadapi kenyataan pahit tanpa ada satu pun yang bisa membela. Oleh karena itu, usaha untuk memperbaiki hati dan lisan dari mencela ayat-ayat Allah adalah krusial.
Pada akhirnya, Surat Al-Kahfi ayat 101 adalah seruan untuk introspeksi: Pada siapa kita menggantungkan harapan? Jika jawaban kita adalah kelompok atau duniawi, maka kita sedang menuju jurang yang sama seperti yang digambarkan ayat ini. Hanya dengan berpegang teguh pada tali Allah, kita akan memperoleh pertolongan yang sejati di dunia dan akhirat.