Surat Al-Ikhlas, yang terdiri dari empat ayat pendek namun memiliki makna yang sangat mendalam, merupakan salah satu surat yang paling sering dibaca umat Islam setelah Al-Fatihah. Nama "Al-Ikhlas" sendiri berarti "Memurnikan Keimanan". Surat ini adalah penegasan absolut terhadap konsep tauhid, yaitu keesaan Allah SWT. Keutamaannya begitu besar sehingga Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa membacanya setara dengan membaca sepertiga Al-Qur'an.
Ketika membahas mengenai surat al ikhlas diwahyukan oleh siapa atau karena sebab apa, kita harus merujuk pada konteks historis penurunan wahyu di Mekkah. Wahyu ini turun sebagai respons langsung terhadap keraguan atau pertanyaan dari kaum musyrikin Quraisy mengenai hakikat Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad SAW. Mereka menantang beliau untuk memberikan deskripsi yang jelas mengenai Dzat Allah SWT yang beliau dakwahkan.
Secara spesifik, mengenai siapa yang menjadi perantara wahyu, Al-Qur'an diturunkan secara bertahap kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril AS. Jadi, surat al ikhlas diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui Jibril AS. Namun, yang lebih penting adalah konteks mengapa wahyu ini diturunkan.
Riwayat yang masyhur menyebutkan bahwa para kaum musyrikin mendatangi Rasulullah SAW dan berkata, "Sebutkanlah kepada kami tentang Tuhanmu itu. Apakah Dia terbuat dari emas, perak, ataukah terbuat dari apa?" Pertanyaan ini mencerminkan pemahaman politeisme mereka yang menganggap tuhan harus memiliki wujud fisik yang dapat diukur atau menyerupai ciptaan mereka. Mereka ingin tahu dari materi apa Tuhan itu diciptakan, karena dalam pandangan mereka, segala sesuatu pasti memiliki asal usul materi.
Mendengar permintaan tersebut, Allah SWT menurunkan surat Al-Ikhlas sebagai jawaban yang paripurna dan definitif. Ayat pertama, "Katakanlah, 'Dialah Allah, Yang Maha Esa,'" segera menolak konsep tuhan yang majemuk atau bertuhan banyak. Ke-Esaan Allah adalah pondasi utama ajaran Islam.
Ayat kedua, Allahush Shamad, adalah inti dari keunikan sifat Allah. Ash-Shamad berarti Dzat yang menjadi tumpuan atau tujuan segala kebutuhan makhluk. Dia Maha Kaya dan tidak membutuhkan apapun dari ciptaan-Nya, sementara semua ciptaan membutuhkan-Nya. Ini kontras dengan konsep tuhan-tuhan pagan yang seringkali membutuhkan persembahan atau pengorbanan.
Kemudian, ayat ketiga dan keempat menyempurnakan penolakan terhadap pemikiran yang mencampuradukkan sifat Allah dengan sifat makhluk. "Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan." Ini secara tegas membantah keyakinan orang Yahudi (yang menganggap Uzair anak Allah) dan orang Nasrani (yang menganggap Isa anak Allah), serta menolak anggapan bahwa Allah memiliki pasangan atau keturunan. Konsep keturunan atau kelahiran hanya berlaku bagi makhluk yang fana dan terbatas.
Penutup surat, "Dan tidak ada seorang pun yang menyamai Dia," menegaskan bahwa tidak ada satu pun di antara ciptaan-Nya, sekecil atau sebesar apapun, yang memiliki kesamaan mutlak dengan keagungan dan kesempurnaan Allah SWT. Surat ini adalah ringkasan teologi murni, memisahkan secara tegas antara Khalik (Pencipta) dan Makhluq (Ciptaan).
Jadi, ketika kita bertanya tentang surat al ikhlas diwahyukan oleh Allah SWT melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, kita mengetahui bahwa tujuan utama wahyu tersebut adalah untuk memurnikan konsep tauhid dari segala bentuk kesyirikan dan pemahaman yang keliru tentang sifat-sifat ketuhanan. Al-Ikhlas bukan sekadar bacaan rutin; ia adalah kurikulum ringkas tentang bagaimana seharusnya seorang Muslim meyakini dan mengesakan Tuhannya secara murni dan tanpa kompromi. Keindahan surat ini terletak pada kemampuannya merangkum seluruh ajaran tauhid dalam empat ayat yang mudah diingat namun maknanya universal dan abadi.