Surat Al-Fatihah, yang berarti "Pembukaan," adalah surat pertama dalam Al-Qur'an dan merupakan inti dari setiap rakaat salat seorang Muslim. Setiap ayatnya mengandung makna mendalam yang membentuk fondasi tauhid dan pengakuan seorang hamba kepada Rabb-nya. Setelah memuji Allah (ayat 1-3), ayat keempat menjadi titik balik penting dalam pengakuan posisi manusia di hadapan Tuhan semesta alam.
Ayat yang menjadi fokus pembahasan ini adalah ayat keempat dari Al-Fatihah. Ayat ini secara spesifik menyatakan posisi unik manusia sebagai hamba dan hanya tunduk kepada kehendak Allah SWT.
Berikut adalah bunyi surat al fatihah ayat ke 4 berbunyi secara lengkap: Mālikiyawmid-Dīn. Ayat ini seringkali dibaca menyambung dengan ayat ketiga, namun dalam penomoran standar mushaf, ia berdiri sendiri sebagai ayat keempat. Ayat ini adalah penegasan mutlak atas kekuasaan Allah.
Kata kunci dalam ayat ini adalah "Mālik" (مَالِكِ) yang berarti pemilik, penguasa, atau raja, serta "Yaumid-Dīn" (يَوْمِ الدِّينِ) yang merujuk pada Hari Penyerahan atau Hari Pembalasan (Hari Kiamat).
Ketika seorang Muslim mengucapkan ayat ini, ia mengakui bahwa di dunia ini mungkin ada raja, presiden, atau penguasa yang berkuasa, namun kepemilikan itu bersifat sementara dan terbatas. Satu-satunya Pemilik sejati, yang kepemilikannya absolut dan tidak pernah berakhir, adalah Allah SWT. Pengakuan ini menumbuhkan rasa bahwa segala urusan duniawi, kesenangan, maupun kesedihan, pada akhirnya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Yang Maha Memiliki.
Penekanan pada "Hari Pembalasan" berfungsi sebagai pengingat bahwa kehidupan ini adalah ujian. Hari Dīn adalah hari di mana semua perbuatan manusia akan diadili tanpa terkecuali. Tidak ada yang luput dari perhitungan-Nya. Ini memberikan motivasi kuat bagi seorang Mukmin untuk selalu berbuat baik dan menjauhi kemaksiatan, karena hasil akhir dari amal perbuatan akan ditentukan pada hari itu.
Ayat ketiga menyatakan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ayat keempat kemudian melanjutkan dengan pernyataan otoritas: Dia adalah Raja Hari Pembalasan. Kombinasi ini—rahmat yang luas diikuti dengan otoritas yang tak terbantahkan—menjadikan seorang hamba merasa takut (karena ada pertanggungjawaban) sekaligus berharap (karena rahmat-Nya mendahului murka-Nya). Dalam shalat, pengakuan ini menjadi pondasi mengapa kita hanya menyembah-Nya dan hanya meminta pertolongan kepada-Nya (ayat kelima).
Al-Fatihah dirancang sebagai dialog antara hamba dan Tuhan. Ayat 1-3 adalah pujian yang dilontarkan hamba kepada Allah. Ayat 4 (Mālikiyawmid-Dīn) menegaskan status Allah sebagai penguasa tunggal atas segala realitas, termasuk realitas setelah kematian. Setelah pengakuan kekuasaan ini, ayat selanjutnya (Ayat 5: Iyyāka na'budu wa iyyāka nasta'īn) adalah jawaban atau respons langsung dari hamba yang menyatakan ibadahnya hanya ditujukan kepada Sang Raja Hari Pembalasan.
Pemahaman yang mendalam tentang surat al fatihah ayat ke 4 berbunyi bukan sekadar hafalan, melainkan penghayatan bahwa setiap langkah hidup kita berada di bawah pengawasan entitas yang akan menjadi hakim tunggal di akhir zaman. Ini mendorong introspeksi diri secara berkelanjutan, membuat seorang Muslim senantiasa berusaha menjalani hidup sesuai syariat, karena di Hari Dīn, tidak ada intervensi lain selain keadilan-Nya.
Intinya, ayat ini memperkuat tauhid uluhiyah (keesaan dalam peribadatan) dengan membuktikan keesaan rububiyah (ketuhanan dan penguasaan) Allah atas masa depan abadi kita. Kesadaran ini harus tertanam kuat agar ibadah yang kita lakukan benar-benar bermakna dan diterima.