Menggali Hikmah di Balik Pemberian

Iluminasi Cahaya Dini Hari

Konteks dan Pesan Agung Surat Ad-Dhuha

Surat Ad-Dhuha, atau Surat di Waktu Duha, merupakan salah satu surat pendek dalam Al-Qur'an yang penuh dengan kehangatan dan penghiburan ilahi. Turun pada saat Nabi Muhammad SAW sedang mengalami masa sulit dan jeda wahyu yang sempat membuat beliau merasa gelisah, surat ini menjadi penegasan bahwa Allah SWT tidak pernah meninggalkan hamba-Nya yang paling dicintai.

Pembahasan mengenai surat ini sering kali menyoroti ayat-ayat awal yang memberikan jaminan kasih sayang. Namun, salah satu titik puncak dari surat yang agung ini terletak pada ayat terakhirnya, yakni surat ad dhuha ayat 11. Ayat ini bukan sekadar penutup, melainkan sebuah perintah langsung mengenai bagaimana seorang mukmin harus merespons segala nikmat yang telah dilimpahkan kepadanya.

Fokus Utama: Surat Ad-Dhuha Ayat 11

Ayat yang dimaksud, sebagaimana termaktub dalam mushaf Al-Qur'an, berbunyi:

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
"Wa ammaa bi ni’mati Rabbika fahaddits."

Terjemahan maknanya secara ringkas adalah: "Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan (atau ceritakan)." Ayat ini merupakan puncak dari rangkaian nasihat dan janji Allah dalam surat tersebut—mulai dari penjagaan di masa yatim, kemudahan setelah kesempitan, hingga janji kemuliaan di akhirat.

Dua Dimensi dalam Perintah "Fahaddits" (Maka Hendaklah Kamu Ceritakan)

Perintah dalam surat ad dhuha ayat 11 mengandung dua dimensi penting yang harus dipahami oleh setiap Muslim dalam menjalani kehidupannya: dimensi internal (syukur) dan dimensi eksternal (dakwah/sosial).

1. Dimensi Internal: Pengakuan dan Syukur yang Diucapkan

Kata "Fahaddits" (maka ceritakanlah) secara fundamental berarti mengakui. Ini adalah pengakuan lisan atas segala karunia yang telah Allah berikan. Dalam Islam, syukur bukan hanya dirasakan dalam hati, tetapi juga harus diekspresikan. Ketika kita menceritakan atau menyebut nikmat Tuhan, kita sedang melatih lisan dan hati kita untuk senantiasa terikat pada kesadaran bahwa sumber segala kebaikan adalah dari-Nya. Ini mencegah kesombongan dan sikap merasa berhak atas pencapaian diri sendiri.

2. Dimensi Eksternal: Menyiarkan Kebaikan untuk Umat

Aspek sosial dari perintah ini adalah menyiarkan nikmat tersebut kepada orang lain. Ini bukan berarti menyombongkan diri atau harta, melainkan berbagi cerita inspiratif mengenai pertolongan Allah. Ketika seseorang menghadapi kesulitan, mendengarkan kisah bagaimana Allah pernah menolong orang lain (misalnya, kisah Nabi Muhammad SAW yang dihibur melalui turunnya wahyu) dapat membangkitkan harapan dan menguatkan iman mereka. Dengan menceritakan nikmat, kita ikut serta dalam dakwah bil-hal dan bil-qawl, menunjukkan bahwa ajaran Islam membawa ketenangan dan solusi.

Implikasi dalam Kehidupan Sehari-hari

Menjalankan amanat surat ad dhuha ayat 11 berarti kita harus proaktif dalam melihat sisi positif kehidupan, bahkan di tengah tantangan. Jika seseorang diberikan kesehatan, ia harus menceritakan bagaimana kesehatan itu memungkinkannya beribadah lebih baik. Jika seseorang diberi kelapangan rezeki, ia harus menceritakan bagaimana rezeki itu bisa ia gunakan untuk membantu sesama yang membutuhkan, sehingga orang lain pun terinspirasi untuk bersyukur dan berbagi.

Ayat ini mengajarkan kita untuk tidak memendam kebaikan dan pertolongan Allah SWT. Menyebarkan kisah pertolongan-Nya adalah salah satu bentuk ibadah yang paling efektif untuk menumbuhkan optimisme dalam komunitas. Ini adalah kontras yang indah dengan sikap manusia yang seringkali melupakan kebaikan setelah ia menerima apa yang diinginkannya.

Penutup yang Menguatkan

Surat Ad-Dhuha, dan khususnya ayat 11, adalah cetak biru bagi seorang mukmin sejati. Ia harus selalu ingat masa sulit (ayat 1-5) sebagai pengingat akan kerentanan dirinya, dan harus selalu mensyukuri kemudahan (ayat 6-10) dengan cara menceritakannya (ayat 11). Dengan demikian, siklus keimanan akan terus berputar: dari kesulitan menuju kemudahan, dan dari kemudahan menuju penyebaran syukur.

🏠 Homepage