Ilustrasi urutan pewahyuan Al-Qur'an
Pertanyaan mengenai surah yang diturunkan sesudah surah Al-Qadr seringkali memicu diskusi mendalam tentang ilmu At-Tazwir (urutan turunnya wahyu) dan At-Tartib (urutan mushaf). Penting untuk membedakan antara urutan turunnya surah berdasarkan kronologi pewahyuan (sebagaimana diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW) dan urutan penulisan surah sebagaimana yang kita temukan dalam mushaf Al-Qur'an saat ini.
Surah Al-Qadr (Al-Qadar), yang terdiri dari lima ayat pendek, merupakan salah satu surah yang sangat dimuliakan karena mengandung kisah tentang Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Dalam konteks kronologi pewahyuan, Al-Qadr termasuk golongan surah Makkiyah, yang mayoritas diturunkan sebelum Hijrah ke Madinah. Namun, beberapa ulama mengklasifikasikannya sebagai Madaniyah ringan, atau berada di masa transisi awal kenabian.
Menentukan secara pasti surah mana yang turun persis setelah Surah Al-Qadr memerlukan rujuk kepada riwayat-riwayat otentik mengenai Asbabun Nuzul dan urutan pewahyuan yang disusun oleh para ulama tafsir terdahulu, seperti Ibnu Abbas atau berdasarkan metode yang dikembangkan oleh ulama kemudian seperti as-Suyuthi dalam kitabnya "Al-Itqan".
Mayoritas sumber yang membahas kronologi pewahyuan menempatkan Surah Al-Qadr di urutan yang relatif awal, seringkali dalam kelompok surah Makkiyah yang diturunkan menjelang akhir periode Mekah atau awal Madinah. Berdasarkan analisis mendalam oleh banyak mufassir mengenai urutan turunnya surah, surah yang diturunkan sesudah surah Al-Qadr adalah Surah Al-Bayyinah (Surah ke-98).
Surah Al-Bayyinah turun untuk menegaskan pemisahan yang jelas antara mereka yang beriman dan ahli kitab yang menolak kebenaran, serta kaum musyrikin. Keutamaan surah ini juga sangat besar, terutama karena menyebutkan tingginya kedudukan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu di sisi Allah SWT.
Penting untuk ditekankan kembali bahwa urutan pewahyuan (kronologis) sangat berbeda dengan urutan mushaf (yang kita baca). Surah Al-Qadr berada di urutan ke-97 dalam mushaf Al-Qur'an, diletakkan tepat sebelum Surah Al-Bayyinah (ke-98).
Ketika Al-Qadr diturunkan, ia memberikan penekanan mendalam mengenai nilai ibadah di malam tertentu. Setelah penegasan pentingnya malam yang penuh kemuliaan tersebut, Allah SWT kemudian menurunkan Surah Al-Bayyinah untuk memberikan pemisahan yang tegas dan konsekuensi yang jelas bagi penerimaan risalah Nabi Muhammad SAW. Ini menunjukkan pola bertahap dalam pendidikan spiritual umat Islam.
Meskipun fokus kita adalah surah berikutnya, memahami konteks Surah Al-Qadr memberikan latar belakang mengapa penurunan surah selanjutnya memiliki signifikansi. Surah Al-Qadr menjelaskan bahwa Al-Qur'an diturunkan secara keseluruhan (turun sekaligus) ke langit dunia pada Lailatul Qadar, kemudian diturunkan berangsur-angsur kepada Nabi SAW selama 23 tahun. Ayat ini menjadi landasan bagi seluruh konsep keberkahan malam tersebut.
Setelah mengukuhkan malam kemuliaan ini, pewahyuan berikutnya, yakni Al-Bayyinah, memperkuat fondasi iman. Al-Bayyinah menyatakan bahwa orang-orang yang tidak beriman dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik akan tetap berada dalam kesesatan sampai datangnya bukti yang nyata (risalah Nabi Muhammad SAW). Ini adalah pembersihan aqidah yang diperlukan setelah pengukuhan aspek ritual ibadah (Lailatul Qadar).
Bagi seorang Muslim, mengetahui urutan pewahyuan, termasuk surah yang diturunkan sesudah surah Al-Qadr, membantu dalam memahami bagaimana syariat Islam berevolusi dan bagaimana tantangan-tantangan dakwah dihadapi oleh Rasulullah SAW pada masanya. Pewahyuan tidak bersifat acak; ia mengikuti kebutuhan sosial, spiritual, dan hukum komunitas Muslim yang sedang berkembang.
Surah-surah yang turun di periode akhir kenabian (seperti Al-Bayyinah) seringkali berfungsi sebagai penutup, penyempurna, atau peringatan terakhir, yang menegaskan prinsip-prinsip dasar yang telah dibangun oleh surah-surah sebelumnya, termasuk surah-surah pendek namun padat makna seperti Al-Qadr. Oleh karena itu, urutan ini memberikan perspektif sejarah dan teologis yang kaya mengenai proses kenabian.