Kajian Mendalam: Surah Al-Kahfi Ayat 77 dan Pelajaran Pentingnya

Simbol Kolaborasi dan Petunjuk

Teks Surah Al-Kahfi Ayat 77

فَانْطَلَقَا حَتَّىٰ إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا
"Lalu keduanya melanjutkan perjalanan, hingga ketika keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka meminta makanan kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu menolak untuk menjamu mereka." (QS. Al-Kahfi: 77)

Ayat ke-77 dari Surah Al-Kahfi merupakan kelanjutan dari kisah pertemuan Nabi Musa dengan hamba Allah yang saleh (sering diidentifikasi sebagai Khidir). Setelah melalui proses pembelajaran yang penuh tantangan dan kesabaran di tepi laut, keduanya melanjutkan perjalanan. Perjalanan fisik ini seringkali melambangkan perjalanan spiritual dan pencarian ilmu yang berkelanjutan.

Ketika mereka tiba di sebuah desa atau negeri, tingkah laku penduduk setempat langsung diuji. Musa dan rekannya (QS. Al-Kahfi ayat 76 menyebutkan bahwa Musa sudah berkomitmen untuk bersabar, namun ujian tetap datang) meminta jamuan atau makanan—sebuah permintaan dasar kemanusiaan. Namun, respons yang mereka terima adalah penolakan. Penduduk negeri tersebut digambarkan secara eksplisit menolak untuk memberikan keramahan (dhiyafah) atau bahkan sekadar makanan.

Makna Penolakan Keramahan

Penolakan penduduk negeri ini memiliki beberapa lapisan makna penting. Pertama, ini menunjukkan kondisi moral masyarakat yang telah menurun. Keramahan (dhiyafah) adalah nilai fundamental dalam banyak tradisi, terutama dalam kebudayaan Timur Tengah kuno. Menolak orang asing yang meminta bantuan adalah tanda kekikiran dan kesombongan.

Kedua, ayat ini menyiapkan panggung bagi keajaiban berikutnya. Jika Musa dan Khidir langsung disambut dengan baik, mungkin kisah tersebut akan berakhir tanpa pelajaran mendalam mengenai keadilan dan rahmat Allah. Penolakan ini menjadi latar belakang kontras bagi tindakan luar biasa yang akan dilakukan oleh Khidir pada ayat-ayat selanjutnya, yaitu membangun kembali tembok yang hampir roboh tanpa meminta imbalan.

Tentu saja, bagi Nabi Musa, penolakan ini terasa sangat memberatkan. Ia baru saja mendapatkan teguran keras karena ketidaksabarannya di ayat sebelumnya. Kini, ia dihadapkan pada kekikiran manusia. Dalam konteks kisah ini, penolakan tersebut berfungsi sebagai ujian kesabaran yang berkelanjutan bagi Nabi Musa. Ia harus menahan diri dari reaksi emosional, meskipun hakikatnya ia dan rekannya sedang membutuhkan pertolongan.

Pelajaran Tentang Sikap dan Prioritas

Surah Al-Kahfi secara keseluruhan menekankan pentingnya ilmu, kesabaran, dan menjauhi kesombongan materialistik. Ayat 77 ini menyoroti bahwa seringkali, mereka yang paling membutuhkan pertolongan (seperti musafir) justru ditolak oleh orang-orang yang mungkin memiliki kelimpahan harta (penduduk negeri). Ini adalah kritik tajam terhadap materialisme yang membutakan hati.

Kisah ini mengajarkan kita bahwa rezeki dan pertolongan Allah bisa datang melalui cara yang tidak terduga. Ketika manusia menunjukkan kekikiran, Allah menunjukkan kemurahan-Nya melalui perantara lain. Dalam beberapa tafsir, tindakan penolakan penduduk negeri tersebut menjadi pembenar bagi tindakan Khidir selanjutnya yang menunjukkan sifat dermawan dan mencari pahala tanpa pamrih, berbeda dengan masyarakat setempat yang kikir.

Inti dari ayat ini adalah pengingat bahwa kemuliaan sejati tidak terletak pada kemewahan atau penerimaan sosial, melainkan pada amal perbuatan dan niat. Menolak orang yang membutuhkan adalah kerugian bagi si penolak, sementara bersabar dan terus berprasangka baik kepada Allah adalah kunci keberhasilan akhirat. Kisah ini terus relevan, mengingatkan umat Islam untuk selalu menyambut tamu dan membantu sesama yang membutuhkan, karena di balik setiap permohonan bantuan, mungkin tersimpan rahmat ilahi.

🏠 Homepage