Surah Al-Kahfi, yang berarti "Gua", merupakan salah satu surah agung dalam Al-Qur'an yang sarat akan pelajaran moral, spiritual, dan akidah. Kisah utama dalam surah ini adalah tentang sekelompok pemuda mukmin yang tertidur lelap di dalam gua untuk menghindari siksaan kaum mereka yang musyrik. Ayat-ayat yang menjelaskan kondisi mereka saat tertidur dan saat mereka terbangun sangatlah penting untuk dipahami, terutama Surah Al-Kahfi Ayat 19.
Ayat ini menjadi titik transisi krusial; ia menggambarkan momen ketika Allah SWT membangunkan mereka setelah masa tidur yang sangat panjang. Memahami ayat ini berarti memahami kekuasaan Allah atas waktu dan kehidupan itu sendiri.
Dan demikian pula Kami bangunkan mereka (dari tidurnya), agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah seorang di antara mereka: "Sudah berapa lama kamu berada di sini?" Mereka menjawab: "Kita berada di sini sehari atau setengah hari." Berkata (yang lain): "Tuhanmu lebih mengetahui berapa lama kamu berada di sini. Maka utuslah salah seorang di antara kamu dengan uang perakmu ini ke kota, dan hendaklah ia lihat makanan mana yang lebih baik (halal) dan yang lebih suci, lalu biarlah ia membawakan sebagian makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut dan jangan sekali-kali membiarkan seorang pun mengetahui keadaanmu."
Ayat 19 ini mengandung beberapa hikmah mendalam yang relevan bagi kehidupan seorang Muslim kontemporer, terlepas dari latar belakang geografis kita.
Ketika para pemuda Ashabul Kahfi terbangun, mereka kebingungan mengenai berapa lama waktu yang telah berlalu. Jawaban mereka ("sehari atau setengah hari") menunjukkan betapa duniawi terasa berbeda ketika berada di bawah kekuasaan ilahi. Mereka tertidur dalam hitungan jam, namun kenyataannya adalah ratusan tahun. Ini adalah pengingat kuat bahwa waktu yang kita ukur dengan jam dan kalender hanyalah ciptaan, sementara Allah adalah Penguasa Mutlak waktu itu sendiri. Dalam menghadapi kesulitan atau penantian panjang, kita diingatkan bahwa keajaiban dimensi waktu selalu mungkin terjadi atas izin-Nya.
Setelah terbangun, kebutuhan mendasar mereka muncul: makanan. Namun, perintah untuk mencari makanan pun tidak boleh sembarangan. Mereka diperintahkan untuk mencari makanan yang "azkā" (lebih baik/lebih suci). Dalam konteks spiritual, ini mengajarkan bahwa meskipun kita membutuhkan pemenuhan kebutuhan fisik, proses memperolehnya harus tetap berada dalam batas-batas kesucian dan kehalalan. Hal ini menanamkan prinsip bahwa kebutuhan material tidak boleh mengesampingkan prinsip moral dan agama.
Perintah paling tegas dalam ayat ini adalah untuk bertindak secara diam-diam: "dan jangan sekali-kali membiarkan seorang pun mengetahui keadaanmu." Setelah tidur selama berabad-abad, masyarakat di sekitar mereka pasti telah berubah total, mungkin sudah menganut Islam atau sebaliknya. Eksposur diri mereka dapat menimbulkan kekacauan, ketakutan, atau bahkan penganiayaan baru. Ini mengajarkan strategi penting dalam dakwah atau mempertahankan keyakinan: perlunya kebijaksanaan (hikmah) dalam memilih waktu dan cara untuk menampilkan diri di tengah lingkungan yang mungkin belum siap menerima kebenaran.
Ayat ini juga sering direfleksikan sebagai metafora bagi kebangkitan spiritual umat. Terkadang, seorang hamba merasa "tertidur" dalam kelalaian spiritualnya. Ketika Allah membangunkannya kembali, ia harus memulai hidup baru dengan kehati-hatian.
Kisah Ashabul Kahfi dan momen kebangkitan mereka dalam Surah Al-Kahfi Ayat 19 adalah pelajaran abadi tentang kepercayaan penuh kepada Allah, pentingnya memprioritaskan kesucian dalam setiap urusan duniawi, serta perlunya kebijaksanaan dalam berinteraksi dengan perubahan zaman.