Ilustrasi Simbolis Malam (Al-Lail)
Jawaban Singkat: Surah Al-Lail Terdiri Dari...
Pertanyaan mengenai struktur surat dalam Al-Qur'an sering kali membawa kita pada kekhususan masing-masing surah. Ketika kita membahas surah Al-Lail terdiri dari berapa ayat, jawabannya sangat spesifik dan mudah diingat.
Surah Al-Lail, yang merupakan surat ke-92 dalam urutan mushaf, secara keseluruhan terdiri dari **21 ayat**. Surah ini tergolong Makkiyah, artinya diturunkan sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Nama "Al-Lail" sendiri berarti "Malam", yang diambil dari sumpah Allah SWT pada ayat pertama surah tersebut.
Konteks Penurunan dan Tema Utama
Surah Al-Lail dibuka dengan sumpah yang kuat, yaitu demi malam apabila ia menutupi dengan gelap. Sumpah ini sering kali digunakan dalam Al-Qur'an untuk menekankan keagungan ciptaan Allah dan signifikansi waktu tersebut dalam siklus kehidupan manusia. Tema utama surah ini berpusat pada kontras antara siang dan malam, kegelapan dan cahaya, yang secara metaforis merujuk pada perbedaan nasib manusia berdasarkan amal perbuatannya di dunia.
Ayat-ayat awal (1-4) menekankan pada kebenaran bahwa usaha keras seseorang akan membuahkan hasil. Allah bersumpah bahwa sesungguhnya usahamu itu bermacam-macam. Ayat selanjutnya membedakan dua tipe manusia utama:
- Tipe Orang yang Menginfakkan Hartanya: Mereka yang bersikap takwa, membenarkan kebaikan (pahala), dan Allah akan memudahkan jalannya menuju kemudahan (surga).
- Tipe Orang yang Kikir: Mereka yang merasa cukup dengan dirinya sendiri, mendustakan kebenaran, dan Allah akan memudahkan jalannya menuju kesusahan (neraka).
Makna Sumpah dalam Surah Al-Lail
Ayat-ayat permulaan surah ini—yakni ayat 1 hingga 4—adalah inti pembuka yang sangat kuat. Surat Al-Lail dimulai dengan:
- Demi malam apabila ia menutupi (dengan gelap),
- Dan siang apabila ia terang benderang,
- Dan penciptaan laki-laki dan perempuan,
- Sesungguhnya usahamu itu sungguh bermacam-macam.
Sumpah ini menegaskan prinsip dasar keadilan ilahi: tidak ada perbuatan baik sekecil apa pun yang akan sia-sia, dan tidak ada keburukan yang akan terlewatkan. Kontras antara malam yang gelap dan siang yang terang benderang menjadi analogi sempurna bagi perbedaan jalan hidup yang dipilih manusia: jalan menuju kebahagiaan abadi atau jalan menuju kehancuran.
Fokus pada Kekayaan dan Ketakwaan (Ayat 5-11)
Bagian tengah surah ini mendalami konsekuensi dari sikap manusia terhadap rezeki yang diberikan Allah. Di sini, Surah Al-Lail membahas tentang bahaya keserakahan dan pentingnya kedermawanan.
Ayat 8 dan 9 secara eksplisit menyoroti orang yang bakhil (kikir): "Dan adapun orang yang bakhil dan merasa cukup (dengan dirinya sendiri), serta mendustakan pahala yang terbaik (surga)..." Orang semacam ini merasa bahwa kekayaannya sudah cukup membuatnya aman, sehingga ia tidak perlu peduli pada hari pembalasan.
Sebaliknya, bagi mereka yang dermawan, tujuan utama mereka bukanlah kekayaan itu sendiri, melainkan keridhaan Allah. Mereka berinfak semata-mata untuk membersihkan jiwa mereka dan mencari pahala akhirat yang jauh lebih besar nilainya daripada kenikmatan duniawi sesaat.
Janji dan Penutup yang Menggugah (Ayat 12-21)
Menjelang akhir surah, janji-janji Allah dipertegas. Allah tidak meninggalkan orang yang berbuat baik tanpa balasan. Dalam ayat 12 hingga 14, dijelaskan bahwa tugas manusia hanyalah memberi peringatan, dan hanya Allah yang Maha Takut (yang paling berhak ditakuti) yang akan menunjukkan jalan kepada orang yang paling bertakwa.
Ayat-ayat penutup ini merupakan motivasi tertinggi. Jika orang yang kikir takut hartanya habis (ayat 15-16), maka orang yang saleh tidak akan khawatir karena kekayaan sejati adalah milik Allah, dan balasan dari-Nya jauh lebih mulia. Intinya, tujuan tertinggi seorang mukmin bukanlah menghindari kemiskinan dunia, melainkan menghindari api neraka dan memperoleh keridhaan Ilahi.
Kesimpulan Mengenai Surah Al-Lail
Jadi, sebagai rangkuman penting, surah Al-Lail terdiri dari 21 ayat. Pesan universal surah ini tetap relevan sepanjang masa, mengingatkan umat Islam bahwa jalan menuju kebahagiaan sejati tidak ditentukan oleh status sosial atau kekayaan materi, melainkan sepenuhnya bergantung pada seberapa besar ketakwaan dan kemurahan hati yang kita tunjukkan dalam menjalani kehidupan duniawi yang bersifat sementara.