Islam mengajarkan bahwa nilai sejati seorang manusia tidak terletak pada kekayaan materi atau keturunan, melainkan pada kualitas akhlak dan ketakwaannya. Konsep ini dipertegas dengan sangat indah dalam Surah Al-Lail (Malam Hari), surah ke-92 dalam Al-Qur'an. Ayat-ayat awal surah ini bersumpah dengan fenomena alam yang kontras—malam dan siang—untuk menekankan pentingnya kontras perilaku manusia dalam menghadapi ujian hidup.
Secara umum, Surah Al-Lail membagi manusia menjadi dua kelompok besar berdasarkan respons mereka terhadap kebenaran dan tuntutan moral. Kelompok pertama adalah mereka yang merespons dengan kedermawanan, takwa, dan keyakinan. Kelompok kedua adalah mereka yang kikir, enggan berbuat baik, dan mendustakan pahala akhirat. Fokus utama pembahasan ini adalah mengurai keutamaan luar biasa yang dijanjikan bagi kelompok pertama.
Surah Al-Lail secara eksplisit menyebutkan tiga pilar sikap yang menjadi kunci meraih keridaan Allah SWT, seperti termaktub dalam ayat 5 hingga 7. Pemilik sikap ini adalah mereka yang berhasil melewati ujian hawa nafsu dan egoisme.
"Maka adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga)," (QS. Al-Lail: 5-6)
Ayat ini menyoroti sifat kedermawanan atau infaq. Seorang yang beriman sejati tidak hanya menumpuk harta, namun menggunakannya sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan. Kedermawanan di sini mencakup segala bentuk pengeluaran untuk kebaikan, baik itu membantu yang membutuhkan, mendukung dakwah, maupun menafkahi keluarga dengan cara yang diridai. Sikap ini menunjukkan bahwa ia tidak terperangkap dalam duniawi, melainkan memandang harta sebagai titipan.
Selain berinfak, mereka juga memiliki ketakwaan. Taqwa adalah kesadaran mendalam akan kehadiran Allah, yang mendorong seseorang untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, bahkan ketika tidak ada manusia lain yang melihat. Taqwa adalah fondasi moral yang menopang semua perbuatan baik lainnya. Tanpa landasan takwa, kedermawanan bisa menjadi riya' (pamer) atau sekadar formalitas sosial.
Sikap ketiga adalah membenarkan Al-Husna, yaitu meyakini sepenuhnya janji-janji Allah yang terbaik, terutama janji akan surga dan balasan berlimpah di akhirat. Orang yang memiliki sikap ini beramal tidak karena ingin cepat kaya di dunia, melainkan karena yakin bahwa investasi terbaik adalah amal saleh yang akan dibalas dengan kenikmatan abadi. Keyakinan teguh ini mendorong konsistensi dalam beribadah dan berbuat baik.
Allah SWT menjanjikan balasan yang luar biasa kontras dengan kondisi orang yang kikir. Balasan tersebut bukan sekadar keuntungan duniawi, melainkan pemenuhan segala kebutuhan spiritual dan fisik di akhirat.
Allah berfirman: "Maka Kami akan memudahkan baginya jalan yang mudah (menuju kebahagiaan)." (QS. Al-Lail: 7). Interpretasi umum dari "jalan yang mudah" ini meliputi kemudahan dalam menjalani ketaatan di dunia, dimudahkannya sakaratul maut, diterangi kubur, dan pada akhirnya, dimudahkan untuk melewati jembatan Shirathal Mustaqim menuju surga.
Kontras dengan itu, bagi mereka yang enggan berinfak dan enggan bertakwa, Allah menyatakan: "Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak butuh kepada Allah), serta mendustakan pahala yang terbaik, maka Kami akan memudahkan baginya jalan yang sukar (kesengsaraan)." (QS. Al-Lail: 8-10). Jalan yang sukar ini melambangkan kesulitan hidup, kesempitan batin, dan azab di akhirat.
Oleh karena itu, Surah Al-Lail memberikan panduan jelas. Keutamaan tertinggi diraih oleh mereka yang memiliki integritas moral sejati—yaitu menggabungkan amal lahiriah (infaq) dengan landasan batiniah (taqwa), yang semuanya didorong oleh keyakinan kuat pada janji Ilahi (membenarkan Al-Husna). Sikap-sikap inilah yang menjamin kemudahan dan kebahagiaan abadi di sisi Allah SWT.