Makna Mendalam Surah Al-Lail Ayat 10: Janji Bagi yang Bertakwa

Simbol Kebaikan dan Keadilan

Surah Al-Lail (Malam) adalah salah satu surat Makkiyah yang sarat dengan pelajaran penting mengenai perbedaan antara jalan orang yang beriman dan orang yang kafir, serta konsekuensi dari pilihan hidup mereka di dunia dan akhirat. Di antara ayat-ayat kunci yang memberikan penegasan tentang balasan ilahi adalah ayat ke-10, yang menjadi penutup dari perbandingan dua jalan tersebut.

وَأَمَّا مَنْ بُخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak butuh kepada Allah),

Ayat 10 ini sering kali dilihat sebagai kelanjutan logis dari ayat sebelumnya (ayat 9), yang menjelaskan tentang orang yang mendustakan hari pembalasan. Namun, ayat ini memperluas cakupan siksaan tersebut dengan menyoroti dua sifat buruk yang mendominasi perilaku orang tersebut: kekikiran (bukhla) dan merasa diri sudah cukup (istighna).

1. Hakikat Kekikiran (Bukhla)

Kikir di sini bukan sekadar tidak mau bersedekah materi. Dalam konteks spiritual Al-Qur'an, kekikiran mencakup keengganan untuk memberikan segala sesuatu yang bermanfaat dari dirinya: harta, waktu, ilmu, bahkan kebaikan akhlak. Orang yang bakhil terikat erat pada hartanya, menganggapnya sebagai benteng kekuasaan mutlaknya. Mereka menimbunnya karena takut kehilangan, lupa bahwa rezeki sejati datang dari Sang Pemberi.

Allah SWT mengingatkan melalui ayat ini bahwa harta yang dikumpulkan tersebut tidak akan berarti apa-apa saat menghadapi hisab. Kekikiran adalah penyakit hati yang menunjukkan lemahnya iman kepada janji Allah mengenai balasan bagi orang yang memberi (infaq). Jika seseorang sangat kikir terhadap sesama manusia, ia menunjukkan kekikiran yang sama besarnya terhadap perintah Allah.

2. Perasaan Merasa Diri Cukup (Istighna)

Aspek kedua dari ayat ini, "wa-staghna" (dan merasa dirinya cukup), adalah akar dari kesombongan dan penolakan terhadap kebenaran. Orang yang merasa cukup adalah mereka yang merasa sudah memiliki segalanya, baik materi maupun status sosial, sehingga mereka merasa tidak perlu tunduk pada ajaran agama atau merasa membutuhkan bimbingan dari Rasulullah SAW. Mereka merasa bahwa pencapaian duniawi mereka sudah menjadi jaminan keamanan dan kebahagiaan mereka.

Sifat ini sangat berbahaya karena meniadakan konsep ketuhanan dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang merasa cukup, ia telah mengangkat dirinya sendiri sebagai tuhan bagi dirinya sendiri. Ia tidak lagi melihat keberhasilan sebagai nikmat, melainkan sebagai hasil murni dari kemampuannya sendiri, yang berujung pada penolakan untuk bersyukur dan beribadah.

Janji Balasan bagi yang Bertakwa

Meskipun Surah Al-Lail ayat 10 lebih fokus pada deskripsi orang celaka, pemahaman ayat ini menjadi lengkap ketika disandingkan dengan ayat yang mendahuluinya (ayat 5-7) dan ayat yang mengikutinya (ayat 11 dan seterusnya), terutama ayat 17 yang menyatakan: "Wayunajjahā-l-latī atqā" (Dan akan dijauhkan daripadanya orang yang paling bertakwa).

Kontras antara orang yang bakhil dan merasa cukup dengan orang yang mendermakan hartanya karena mencari keridhaan Allah (ayat 18-21) sangat tajam. Ayat 10 berfungsi sebagai peringatan keras. Jika kekikiran dan kesombongan adalah ciri orang yang akan menghadapi kesulitan besar, maka kebalikan dari sifat tersebut—kedermawanan dan ketawadhuan (merasa butuh kepada Allah)—adalah ciri orang yang dijanjikan keselamatan.

Inti dari ayat 10 adalah bahwa kekayaan dan kepuasan diri duniawi tidak akan menyelamatkan seseorang. Justru, kekayaan harus diuji melalui cara penggunaannya. Ujiannya sederhana: apakah kekayaan itu membuat kita kikir dan sombong, ataukah ia memotivasi kita untuk bersyukur dan berbagi?

Implikasi Spiritual dalam Kehidupan Modern

Dalam konteks modern, kekikiran bisa termanifestasi dalam bentuk penahanan informasi, menolak memberi kesempatan kerja, atau hanya fokus pada pengumpulan aset tanpa memikirkan dampak sosial. Sementara itu, "merasa cukup" sering kali terlihat dalam bentuk arogansi intelektual atau keyakinan bahwa pencapaian karier sudah menutupi kekurangan spiritual.

Surah Al-Lail ayat 10 menuntut introspeksi mendalam. Kita harus secara aktif melawan godaan untuk menimbun—baik harta maupun kebaikan—sambil senantiasa mengingat bahwa semua yang kita miliki adalah titipan. Hanya dengan melepaskan keterikatan ini melalui kedermawanan yang tulus, seseorang dapat mengharapkan rahmat dan janji kebahagiaan sejati dari Allah SWT.

Ayat ini menegaskan bahwa keselamatan akhirat bukanlah otomatis bagi mereka yang berlimpah harta, melainkan bagi mereka yang telah melewati ujian kekikiran dan kesombongan dengan memilih jalan ketaatan dan kedermawanan yang didasari keikhlasan.

🏠 Homepage