Surah Al-Kahfi, yang berarti "Al-Gua," adalah surat ke-18 dalam Al-Qur'an yang mengandung banyak pelajaran hikmah, terutama kisah Ashabul Kahfi (para pemuda penghuni gua) yang menjadi simbol keteguhan iman di tengah fitnah zaman. Bagian ayat 21 hingga 30 adalah penutup dari kisah tersebut dan mengandung perintah penting bagi Rasulullah SAW serta umatnya mengenai bagaimana menyikapi kebenaran dan perbedaan.
Ayat-ayat ini dimulai ketika pemuda-pemuda tersebut terbangun setelah tidur panjang. Mereka saling bertanya tentang berapa lama mereka tertidur, sebuah indikasi betapa waktu terasa sangat berbeda bagi mereka yang berada dalam perlindungan ilahi. Ayat 21 menjelaskan bahwa orang-orang di sekitar mereka menjadi terkejut dan memahami kekuasaan Allah SWT.
وَلِكِذَٰلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيهَا إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ ۖ فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِمْ بُنْيَانًا ۖ رَبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ ۚ قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَىٰ أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِم مَّسْجِدًا
(21) Dan demikianlah Kami perlihatkan (keadaan mereka) kepada manusia, agar mereka mengetahui bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat itu tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih paham mengenai urusan mereka, mereka berkata, "Dirikanlah suatu bangunan untuk menutupi (gua) mereka." Tuhan merekalah yang lebih mengetahui urusan mereka. Berkatalah orang-orang yang mengalahkan urusan mereka, "Pasti akan kami buatkan tempat ibadah di atas mereka."
Ayat ini mengandung pesan fundamental: peristiwa luar biasa yang terjadi pada Ashabul Kahfi berfungsi sebagai bukti nyata (tanda) atas kebenaran janji Allah, termasuk janji akan adanya Hari Kebangkitan (Kiamat). Ini adalah penegasan bahwa Allah Maha Kuasa atas waktu dan kehidupan.
Setelah kebangkitan, muncul perdebatan di kalangan masyarakat mengenai jumlah pasti pemuda tersebut. Ayat 22 menunjukkan bahwa ketidakpastian jumlah ini sebenarnya adalah bagian dari rencana ilahi agar manusia tidak terlalu fokus pada hal yang bersifat detail, melainkan pada esensi pesan utamanya. Namun, ayat tersebut segera beralih ke perintah yang jauh lebih penting dan abadi bagi umat Nabi Muhammad SAW.
سَيَقُولُونَ ثَلَاثَةٌ وَرَابِعُهُمْ كَلْبُهُمْ وَيَقُولُونَ خَمْسَةٌ وَسَادِسُهُمْ كَلْبُهُمْ رَجْمًا بِالْغَيْبِ ۖ وَيَقُولُونَ سَبْعَةٌ وَثَامِنُهُمْ كَلْبُهُمْ ۚ قُل رَّبِّي أَعْلَمُ بِعِدَّتِهِم مَّا يَعْلَمُهُمْ إِلَّا قَلِيلٌ ۗ فَلَا تُمَارِ فِيهِمْ إِلَّا مِرَاءً ظَاهِرًا وَلَا تَسْتَفْتِ فِيهِم مِّنْهُمْ أَحَدًا
(22) Orang-orang akan berkata, "(Jumlah mereka) tiga orang, yang keempat adalah anjingnya," dan yang lain akan berkata, "(Jumlah mereka) lima orang, yang keenam adalah anjingnya," sembari menerka-nerka hal yang tidak gaib, dan yang lain lagi berkata, "(Jumlah mereka) tujuh orang, dan yang kedelapan adalah anjingnya." Katakanlah, "Tuhanku Maha Mengetahui jumlah mereka, tidak ada yang mengetahuinya kecuali segelintir orang." Maka janganlah kamu (Muhammad) berbantah mengenai jumlah mereka kecuali bantahan yang jelas (berdasarkan wahyu) dan jangan pula kamu menanyakan tentang mereka kepada seorang pun dari (penduduk setempat).
Ayat 23 kemudian memberikan kaidah emas mengenai cara berinteraksi dengan hal-hal yang belum jelas atau berbeda pandangan, terutama yang tidak memiliki dasar wahyu yang kuat. Jangan berdebat berlebihan (kecuali debat yang bersifat eksplisit berdasarkan ilmu), dan jangan meminta penjelasan dari mereka yang mungkin hanya menebak-nebak.
Inti dari seluruh bagian ini terletak pada ayat 24, di mana Allah SWT memerintahkan Rasulullah SAW untuk senantiasa berpegang teguh pada wahyu yang telah diturunkan dan tidak mencari petunjuk lain di luar itu. Ini adalah fondasi utama bagi seorang Muslim dalam menghadapi keraguan dan kebingungan duniawi.
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
(24) Dan bersabarlah engkau bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan petang hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena mengingini) perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah engkau menuruti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti keinginannya dan adalah keadaannya itu melewati batas.
Pesan dalam ayat 24 sangat kuat: fokuslah pada komunitas yang mengingat Allah secara konsisten (pagi dan petang). Jangan tergoda oleh kemewahan duniawi yang sifatnya sementara. Ayat ini mengajarkan prioritas spiritual di atas materi.
Meskipun fokus utama kita adalah ayat 21-30, penting diketahui bahwa ayat 25-30 adalah transisi menuju kisah kedua dalam surat ini, yaitu kisah tentang perumpamaan dua pemilik kebun (ayat 32 dst.). Ayat 25-30 sendiri membahas durasi tidur Ashabul Kahfi yang sesungguhnya (300 tahun ditambah 9 tahun), dan menegaskan bahwa Allah Maha Tahu yang gaib.
Ayat 30, yang mengakhiri segmen tentang Ashabul Kahfi, berfungsi sebagai kesimpulan umum: kepada Allah-lah segala keputusan dikembalikan. Ini adalah penutup yang menenangkan hati, menegaskan bahwa setelah segala usaha, hanya kepastian dari Allah yang menjadi pegangan terakhir.
Dengan merenungkan Surah Al-Kahfi ayat 21 hingga 30, seorang Muslim diingatkan untuk selalu menempatkan akhirat di depan mata, bersabar dalam komunitas yang saleh, dan mengembalikan segala urusan yang samar kepada pengetahuan Allah SWT yang Maha Luas.