Ilustrasi visualisasi kelapangan hati dan kemudahan
Surat Al-Insyirah, atau dikenal juga dengan nama Asy-Syarh, adalah surat ke-94 dalam Al-Qur'an. Surat ini merupakan salah satu surat Makkiyah yang diturunkan untuk memberikan ketenangan dan penguatan hati kepada Rasulullah ﷺ di masa-masa awal dakwah yang penuh tantangan. Secara spesifik, Surah Al-Insyirah ayat 1-5 adalah inti dari penegasan Ilahi bahwa kesulitan yang dihadapi tidak akan pernah melebihi batas kemampuan hamba-Nya, bahkan akan selalu diikuti oleh kemudahan.
Bagi Nabi Muhammad ﷺ, periode dakwah awal di Mekkah sangatlah berat. Beliau menghadapi penolakan, ejekan, bahkan ancaman fisik dari kaum Quraisy. Dalam kondisi fisik dan mental yang tertekan, Allah SWT menurunkan ayat-ayat ini sebagai suntikan spiritual yang mendalam, mengingatkan beliau akan karunia besar yang telah Allah berikan sebelumnya, yaitu pembukaan dada (Al-Insyirah).
Memahami makna harfiah dari lima ayat pertama ini adalah kunci untuk menambatkan hati pada ketenangan abadi, terlepas dari badai kehidupan yang menerpa. Berikut adalah ayat-ayatnya beserta terjemahannya:
Perhatikanlah pengulangan pada ayat 1 dan 2. Pengulangan ini, dalam kaidah balaghah (retorika Arab), berfungsi untuk penekanan yang sangat kuat, menegaskan janji Allah bahwa kemudahan itu pasti menyertai kesulitan, bukan datang setelahnya secara terpisah.
Dua ayat pertama, Surah Al-Insyirah ayat 1-5 yang spesifik pada ayat 1 dan 2, adalah inti pesan penenang. Dalam bahasa Arab, ketika suatu ungkapan diulang, ia menunjukkan urgensi dan penegasan. Kalimat "Inna ma'al 'usri yusra" (Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan) diulang dua kali. Para mufassir menjelaskan bahwa meskipun lafaznya sama, konteks maknanya bisa merujuk pada dua kesulitan yang berbeda, atau dua kemudahan yang berbeda yang menyertai keduanya. Allah SWT menegaskan, kesulitan yang kita hadapi—seberat apapun—pasti memiliki partner, yaitu kemudahan yang telah dijanjikan.
Prinsip ini mengajarkan optimisme yang berlandaskan iman. Ini bukan janji bahwa kesulitan akan hilang seketika tanpa usaha, melainkan janji bahwa di dalam proses melewati kesulitan itu sendiri, Allah telah menyiapkan jalan keluar atau setidaknya keringanan jiwa. Seorang Muslim dididik untuk tidak pernah jatuh dalam keputusasaan karena janji ini adalah kepastian dari Rabbul 'Alamin.
Setelah memberikan penegasan ilahiah, ayat 3 dan 4 segera mengarahkan kepada tindakan konkret. Ayat ketiga, "Maka, apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), maka bekerjalah dengan sungguh-sungguh," adalah perintah untuk tidak berdiam diri menunggu kemudahan datang pasif. Begitu satu beban kerja atau masalah selesai diatasi, seorang mukmin harus segera beralih dan mempersiapkan diri untuk tugas berikutnya dengan penuh kesungguhan (Fanṣab).
Kemudian, ayat keempat menegaskan fokus akhir: "Dan hanya kepada Tuhanmu-lah hendaknya kamu mengharapkan (pertolongan)." Ini adalah sinkronisasi antara usaha (ayat 3) dan tawakal total (ayat 4). Usaha manusia adalah sebab lahiriah, sementara hasil akhirnya sepenuhnya berada di genggaman Allah. Ketika kita berupaya maksimal, fokus harapan kita harus selalu tertuju kepada Sumber segala pertolongan.
Ayat kelima, "Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya dengan bermain-main," berfungsi sebagai penutup yang monumental. Mengapa Allah mengingatkan tentang keagungan penciptaan alam semesta? Karena ketika manusia diselimuti oleh masalah sepele di bumi, mereka cenderung lupa skala masalah mereka dibandingkan dengan kebesaran Pencipta.
Jika Allah SWT yang menciptakan tata surya dengan ketelitian sempurna dan tujuan yang amat serius (bukan bermain-main), sudah pasti Dia mampu menangani masalah kecil yang menimpa hamba-Nya. Pemahaman ini menggeser perspektif kita: jika kita menjadi bagian dari rencana besar yang serius ini, maka masalah pribadi kita adalah bagian kecil dari sistem yang sempurna.
Secara ringkas, Surah Al-Insyirah ayat 1-5 memberikan resep spiritual yang lengkap: Tahu bahwa kemudahan pasti ada (Ayat 1-2), bertindak dan berusaha keras (Ayat 3), bersandar total kepada Allah (Ayat 4), dan menempatkan semua masalah dalam konteks kebesaran penciptaan Allah (Ayat 5). Ini adalah bekal abadi bagi setiap jiwa yang beriman.