Surah Al-Fatihah, yang merupakan inti dari shalat kita, terdiri dari tujuh ayat yang kaya makna. Ayat per ayatnya membangun fondasi keimanan seorang Muslim. Setelah memuji Allah (Ar-Rahman, Ar-Rahim) pada ayat kedua, perhatian kita diarahkan pada ayat ketiga. Pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah, **"Surah Al-Fatihah ayat ke 3 berbunyi"** apa, dan apa implikasinya bagi kehidupan spiritual kita?
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
"(3) Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam."
Dalam beberapa riwayat bacaan dan penomoran, ayat ini seringkali digabungkan dengan ayat pertama (Basmalah) atau ayat kedua. Namun, dalam Mushaf standar yang diikuti oleh mayoritas umat Islam (termasuk standar Utsmani), ayat ketiga secara eksplisit menegaskan pengakuan mutlak bahwa seluruh pujian, sanjungan, dan syukur hanya milik Allah SWT. Ini adalah transisi penting dari pengakuan awal ke penegasan kedaulatan Ilahi.
Ayat ini memiliki kedalaman filosofis dan teologis yang luar biasa. Ketika kita membaca, "Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam," kita sedang melakukan tindakan tawakkul dan tawshid (pengesaan) secara bersamaan. Kata "Alhamdulillahi" bukan sekadar ucapan syukur biasa; ia mencakup rasa terima kasih, pujian yang melebihi segala bentuk pujian, dan pengakuan atas semua nikmat yang tercurah.
Penting untuk diperhatikan penggunaan frasa kunci: "Rabbil 'Alamin" (Tuhan Semesta Alam). Kata 'Rabb' (Tuhan) dalam konteks ini tidak hanya berarti Pencipta, tetapi juga Pemilik, Pemelihara, Pengatur, dan yang memberikan rahmat serta mengarahkan segala sesuatu. 'Alamin' mencakup semua ciptaan, dari atom terkecil hingga galaksi terjauh, dari jin, manusia, malaikat, hingga alam non-hidup. Ini memperluas cakupan pujian kita; kita tidak hanya memuji Allah atas rahmat yang kita terima secara pribadi, tetapi atas pemeliharaan seluruh eksistensi.
Jika ayat pertama (Basmalah) adalah pembuka dan ayat kedua ("Ar-Rahman, Ar-Rahim") berfokus pada sifat kasih sayang Allah yang universal dan spesifik, maka ayat ketiga ("Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin") berfungsi sebagai penegasan otoritas. Ini menetapkan fondasi bahwa Dialah satu-satunya yang layak menerima pujian karena Dialah pemelihara tunggal alam semesta.
Setelah menegaskan bahwa Allah adalah Rabbul 'Alamin, ayat keempat langsung melanjutkan dengan pengkhususan otoritas tersebut: "Maliki Yaumiddin" (Pemilik Hari Pembalasan). Keterkaitan ini menunjukkan alur logis: Karena Dia adalah Pemelihara seluruh alam (Ayat 3), maka Dia jugalah penguasa mutlak pada hari pertanggungjawaban (Ayat 4). Pengakuan ini seharusnya menumbuhkan rasa takut yang sehat (karena pertanggungjawaban) sekaligus rasa aman (karena berada di bawah pemeliharaan-Nya).
Memahami bahwa surah Al-Fatihah ayat ke 3 berbunyi sebagai pengakuan atas kepemilikan Allah atas seluruh alam semesta memberikan perspektif baru terhadap masalah duniawi. Ketika kita menghadapi kesulitan, kesedihan, atau kegembiraan, mengingat bahwa ada Pengatur Agung yang mengendalikan segala sesuatu—bukan sekadar raja di satu wilayah, tetapi Pemelihara semua alam—mampu menenangkan hati.
Pujian yang ditujukan kepada Allah dalam ayat ini juga mengajarkan kita untuk bersyukur, bukan hanya secara verbal, tetapi melalui tindakan dan cara pandang. Setiap tarikan napas, setiap rezeki yang didapat, adalah manifestasi dari pemeliharaan-Nya sebagai Rabbul 'Alamin. Oleh karena itu, respons yang pantas adalah pengabdian penuh, yang kemudian dipuncak dalam ayat kelima, yaitu penyembahan hanya kepada-Nya.
Dalam shalat, pengucapan ayat ini menjadi momen introspeksi terpenting. Kita mengakui bahwa segala sesuatu di luar diri kita—kekayaan, jabatan, kesehatan, bahkan masalah yang membebani—berada di bawah kendali Pemelihara Alam Semesta. Ini bukan hanya ritual; ini adalah penegasan ulang janji bahwa totalitas eksistensi berada dalam genggaman Allah, dan hanya kepada-Nya kita mengarahkan segala puji.
Artikel ini disusun untuk memberikan pemahaman mendalam mengenai inti Surah Al-Fatihah.