Di antara jajaran legenda yang pernah menghiasi San Siro, nama Ruud Gullit AC Milan berdiri tegak sebagai simbol kehebatan teknis, karisma, dan kesuksesan tak tertandingi. Datang ke Milan pada tahun 1987 dari PSV Eindhoven, Gullit tidak hanya membawa bakatnya, tetapi juga membawa aura kemenangan yang langsung menular ke tim yang saat itu sedang dibangun oleh Arrigo Sacchi.
Ketika Gullit mendarat di Italia, ia bergabung dengan Marco van Basten, membentuk duet Belanda yang kelak menjadi momok menakutkan bagi pertahanan Eropa. Namun, kontribusi Gullit seringkali lebih kompleks daripada sekadar gol; ia adalah mesin lini tengah yang dinamis. Dengan kecepatan, kekuatan fisik, dan kecerdasan taktis yang luar biasa, ia mampu mengisi berbagai peran—dari gelandang serang hingga penyerang sayap. Gaya bermainnya yang unik, seringkali ditandai dengan pergerakan lincah meskipun memiliki postur tinggi, menjadikannya sulit ditebak lawan.
Di bawah komando Sacchi, Milan menerapkan sistem permainan zona marking yang revolusioner. Gullit adalah kunci sukses sistem ini. Kemampuannya untuk menekan lawan tinggi di lapangan, mendistribusikan bola dengan cepat, dan yang paling penting, tiba di kotak penalti untuk mencetak gol krusial, menjadikannya komponen yang tak tergantikan. Salah satu penampilan paling ikonik adalah saat ia mencetak hat-trick di final Piala Eropa melawan Steaua Bucuresti di Barcelona, sebuah pertunjukan dominasi total yang mengukuhkan status Milan sebagai penguasa Eropa saat itu.
Bersama Van Basten dan Frank Rijkaard, trio Belanda ini menciptakan salah satu lini serang paling efektif dalam sejarah sepak bola. Gullit seringkali menjadi jembatan kreatif antara lini tengah yang solid dan serangan mematikan. Ia memenangkan Ballon d'Or pada tahun 1989, pengakuan individu tertinggi yang menegaskan perannya sebagai pemain terbaik dunia pada masa itu. Dominasi AC Milan pada akhir 80-an dan awal 90-an tidak terlepas dari peran sentralnya. Mereka memenangkan dua Piala Eropa berturut-turut (1989 dan 1990) serta gelar Serie A pertama mereka bersama dalam periode tersebut.
Transisi dari Eredivisie ke Serie A adalah tantangan besar, terutama dalam hal intensitas dan defensif yang ketat ala Italia. Gullit beradaptasi dengan cepat. Ia belajar bagaimana menyeimbangkan kreativitasnya dengan disiplin taktis yang dituntut Sacchi. Kehadirannya juga membawa pengaruh besar di luar lapangan; gaya rambut ikonik dan senyum lebarnya menjadikannya favorit penggemar di seluruh dunia. Ia adalah perpaduan langka antara atletisitas murni dan keahlian teknis yang elegan.
Meskipun masa baktinya di AC Milan tidak berlangsung sepanjang karier Van Basten atau Maldini, dampak Ruud Gullit AC Milan terasa permanen. Ia meninggalkan klub pada tahun 1994 setelah sempat dipinjamkan ke Sampdoria. Namun, enam tahun di Rossoneri sudah cukup untuk menempatkannya dalam buku sejarah klub sebagai bagian dari skuad paling legendaris yang pernah ada. Kontribusinya melampaui statistik gol semata; ia mewakili era di mana Milan adalah mercusuar inovasi taktis dan dominasi sepak bola global.
Banyak pemain modern yang mencoba meniru fleksibilitasnya, namun sedikit yang berhasil menyamai kombinasi kecepatan, kekuatan fisik, dan kecerdasan sepak bola yang dimiliki oleh sosok berkulit gelap dengan rambut gimbal ini. Bagi para pendukung Milan, Gullit tetap menjadi sinonim dengan kejayaan Eropa yang tak terlupakan.