Sebuah representasi hati yang disinari oleh keikhlasan.
Ikhlas adalah salah satu pilar terpenting dalam ajaran Islam. Kata ini seringkali diucapkan, namun hakikatnya membutuhkan perjuangan batin yang tiada henti. Secara etimologis, ikhlas berarti memurnikan, menjernihkan, atau memisahkan sesuatu dari campuran. Dalam konteks ibadah, ikhlas berarti memurnikan niat semata-mata karena Allah SWT, tanpa mengharapkan pujian dari manusia (riya'), balasan duniawi, atau ketenaran.
Al-Qur'an secara eksplisit dan implisit banyak menyinggung tentang pentingnya menjaga kemurnian niat ini. Ibadah yang dilakukan tanpa keikhlasan, meskipun secara lahiriah tampak sempurna, nilainya di hadapan Allah SWT sangatlah rendah, bahkan bisa menjadi sia-sia. Allah SWT menegaskan prinsip ini dalam beberapa ayat yang menjadi landasan utama bagi setiap muslim.
Ayat ini menunjukkan bahwa tujuan utama diperintahkannya shalat dan zakat—dua pilar utama agama—adalah sebagai wadah untuk menzahirkan ketulusan hati atau keikhlasan. Jika niatnya tidak lurus, maka pelaksanaan ibadah tersebut gagal mencapai tujuannya yang hakiki. Ikhlas di sini didefinisikan sebagai "memurnikan ketaatan kepada-Nya", sebuah kalimat yang sangat tegas menunjukkan bahwa Allah hanya menerima ketaatan yang bebas dari segala bentuk syirk (mempersekutukan) dalam niat.
Ayat ini menggarisbawahi bahaya serius dari riya' (pamer). Orang yang melakukan ibadah karena ingin dipuji manusia sedang melakukan penipuan terhadap Allah SWT. Perilaku ini dikategorikan mendekati kemunafikan karena lahiriahnya terlihat taat, namun batinnya berorientasi pada makhluk, bukan kepada Sang Pencipta. Ketika motivasi beralih dari mencari keridhaan Allah menjadi mencari pengakuan manusia, ibadah tersebut kehilangan intinya dan menjadi beban yang berat (ditunjukkan dengan sifat "berdiri dengan malas").
Ikhlas merupakan buah dari pemahaman tauhid yang benar. Ketika seorang hamba benar-benar meyakini bahwa hanya Allah yang berhak disembah, maka secara otomatis segala bentuk amalannya akan diarahkan hanya kepada-Nya. Ini bukan hanya berlaku pada ritual ibadah mahdhah seperti shalat dan puasa, tetapi juga dalam setiap interaksi sosial, pekerjaan, menuntut ilmu, bahkan dalam berdiam diri.
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa keikhlasan adalah rahasia antara hamba dan Tuhannya. Sesuatu yang ikhlas adalah amal yang tidak mampu dijangkau oleh mata pengamat, tidak dapat dihitung oleh orang lain, dan pelakunya sendiri seringkali merasa amalannya masih kurang. Kontras dengan amal riya' yang justru dipamerkan agar mudah dilihat dan diapresiasi.
Dalam konteks amal perbuatan sehari-hari, Al-Qur'an mendorong kita untuk melakukan kebaikan secara tersembunyi maupun terang-terangan, asalkan niatnya benar.
Ayat ini memberikan harapan besar bagi orang yang ikhlas. Baik dalam keadaan tersembunyi (yang lebih mendekati kesempurnaan ikhlas) maupun terang-terangan (jika ada unsur kemaslahatan umum di dalamnya), selama niatnya murni mencari pahala dan keridhaan Allah, janji kenikmatan dan ketenangan di akhirat telah disiapkan. Tidak adanya rasa khawatir dan bersedih hati adalah balasan langsung bagi hati yang telah disucikan oleh keikhlasan, bebas dari beban kekhawatiran akan penilaian manusia.
Menjaga keikhlasan adalah jihad akbar melawan hawa nafsu yang selalu mendorong untuk mencari validasi eksternal. Dengan merenungkan ayat-ayat Al-Qur'an tentang ikhlas, seorang muslim diingatkan bahwa kualitas amalnya ditentukan oleh kualitas niatnya. Hati yang murni akan menghasilkan amal yang mulia, dan inilah kunci menuju ketenangan sejati di dunia dan kebahagiaan abadi di akhirat.