Ilustrasi: Simbol Kegelapan dan Cahaya di Malam Hari
Surat Al-Lail (Malam), surat ke-92 dalam Al-Qur'an, dibuka dengan sumpah agung yang langsung menarik perhatian pembaca: "Demi malam apabila menutupi (siang)" (ayat 1). Pengulangan sumpah yang kuat ini—berkali-kali merujuk pada malam dan siang—menegaskan bahwa Allah SWT bersumpah atas fenomena alam yang paling fundamental. Malam, dengan kegelapannya, seringkali menjadi metafora bagi kesulitan, ujian, atau ketidaktahuan. Namun, di balik sumpah ini, tersimpan janji akan kejelasan dan balasan yang pasti.
Al-Lail menunjukkan kontras yang tajam antara siang dan malam. Siang hari adalah waktu untuk berusaha, beraktivitas, mencari rezeki, dan menunjukkan amal perbuatan. Sementara malam adalah waktu untuk beristirahat, merenung, dan yang terpenting, waktu untuk beribadah dalam keheningan, di mana hati lebih dekat untuk menerima bimbingan ilahi. Kontras ini menandakan bahwa hidup manusia adalah siklus upaya (siang) dan pertanggungjawaban (malam).
Pesan inti dari surat ini kemudian beralih pada penjelasan mengenai usaha manusia. Allah SWT menegaskan bahwa setiap orang akan menempuh jalan yang telah dipermudah baginya. Ayat 4 hingga 6 menyatakan, "Sesungguhnya usaha kamu memang bermacam-macam. Maka barangsiapa yang memberikan hartanya (di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan memudahkan baginya jalan yang mudah."
Ini adalah konsep fundamental: amal saleh di dunia adalah sarana kemudahan menuju kebahagiaan di akhirat. Allah tidak membebani kita tanpa memberikan jalan keluarnya. Jalan kemudahan itu adalah ketaatan dan kemurahan hati.
Sebaliknya, bagi mereka yang kikir dan merasa cukup dengan harta duniawinya, serta mendustakan pahala akhirat, Allah memberikan konsekuensi yang setara: "Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu kepada rahmat Allah), dan mendustakan pahala yang terbaik, maka Kami kelak akan memudahkan baginya jalan yang sukar (kesulitan di akhirat)."
Surat Al-Lail memberikan perspektif mendalam tentang hakikat kekayaan. Ayat 9 hingga 11 menyingkapkan kebatilan anggapan bahwa kekayaan materi adalah penentu kebahagiaan atau kesalehan. Orang yang sombong seringkali menganggap dirinya mandiri karena hartanya, padahal kemandirian sejati hanya milik Allah.
Allah mengingatkan bahwa membimbing manusia kepada keimanan dan menjauhkan dari kesesatan adalah karunia-Nya semata, bukan hasil jerih payah harta. Bahkan, dalam konteks sedekah, tindakan memberikan harta di malam hari (saat keadaan lebih sunyi dan ikhlasnya lebih terjamin) menjadi penanda kesalehan yang paling murni.
Sebagai penutup, surat ini menawarkan harapan besar bagi orang-orang yang bertakwa dan mengutamakan akhirat. Setelah menjelaskan ujian berupa kesulitan bagi yang kikir, Allah menutupnya dengan janji indah: "Dan adapun orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah, tentulah ia diridhai. Dan kelak pasti ia akan berpuas diri (mendapat kebahagiaan)."
Surat Al-Lail adalah pengingat abadi bahwa kontras antara malam dan siang, antara kesulitan dan kemudahan, serta antara kikir dan dermawan, menentukan nasib akhirat kita. Ia mengajarkan bahwa investasi terbaik adalah investasi spiritual, yang dilakukan dengan ikhlas dalam keheningan, sehingga menghasilkan keridhaan ilahi yang kekal. Membaca dan merenungkan surat ini di malam hari dapat menjadi cara ampuh untuk meninjau kembali prioritas hidup kita di bawah naungan ketenangan Ilahi.