Surat Al-Insyirah, juga dikenal sebagai Surah Asy-Syarh (Pembukaan Dada), adalah surat ke-94 dalam Al-Qur'an. Surat ini memiliki kedalaman spiritual yang luar biasa, diturunkan pada masa-masa sulit Nabi Muhammad SAW, memberikan peneguhan, harapan, dan janji ilahi. Inti dari surat ini terletak pada janji Allah bahwa setelah kesulitan, pasti akan ada kemudahan. Puncak penegasan janji ini terangkum dalam ayat terakhirnya, yaitu **QS. Insyirah Ayat 8**.
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), bersungguh-sungguhlah (untuk urusan yang lain).
Ayat kedelapan ini sering kali menjadi penutup sekaligus dorongan pamungkas dalam surat tersebut. Kalimat Arabnya, "Fa idza faraghta fanṣab", mengandung dua perintah penting yang saling berkesinambungan. Kata kunci di sini adalah "Faraghta" (telah selesai) dan "Fanṣab" (bersungguh-sungguhlah/beribadahlah).
Bagian pertama, "Apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan)", merujuk pada selesainya suatu pekerjaan atau ibadah yang telah dilakukan. Dalam konteks penurunan ayat kepada Rasulullah SAW, ini bisa merujuk pada selesainya ibadah salat atau dakwah intensif. Namun, pesan ini bersifat universal. Dalam kehidupan modern, ini bisa berarti selesainya waktu kerja, selesainya sebuah proyek besar, atau bahkan selesainya kesibukan duniawi sesaat.
Poin pentingnya adalah bahwa Islam tidak menganjurkan stagnasi. Selesai satu urusan bukan berarti berhenti beraktivitas, melainkan membuka babak baru.
Perintah "Fanṣab" adalah inti dari makna spiritual ayat ini. Kata ini berasal dari akar kata yang berarti 'berusaha keras', 'menegakkan', atau 'beribadah dengan sungguh-sungguh'. Setelah keringat dan usaha dicurahkan dalam menyelesaikan tugas pertama, seorang mukmin diperintahkan untuk segera mengalihkan energi dan kesungguhannya itu ke tugas berikutnya, terutama dalam konteks ibadah dan ketaatan kepada Allah SWT.
Ini mengajarkan kontinuitas amal shaleh. Kemudahan yang dijanjikan Allah (pada ayat-ayat sebelumnya: "Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan") tidak datang secara pasif; ia datang sebagai buah dari kesungguhan yang berkelanjutan. Begitu satu pintu kemudahan terbuka karena kita telah berjuang, kita harus segera mempersiapkan diri untuk perjuangan berikutnya dengan semangat yang sama atau bahkan lebih besar.
QS. Insyirah Ayat 8 memberikan landasan kuat bagi psikologi Islami tentang cara menghadapi siklus hidup. Ayat ini mematahkan mentalitas tunda-tunda atau sikap puas diri setelah mencapai keberhasilan kecil. Hidup adalah rangkaian perjuangan dan ibadah yang tidak pernah benar-benar usai hingga kematian menjemput.
Ketika seseorang merasa sangat lelah setelah menghadapi kesulitan (seperti yang dijanjikan pada ayat 5 dan 6), maka ayat 7 dan 8 menjadi obatnya. Setelah kesulitan itu mereda (ayat 7), bukan waktunya untuk berpuas diri atau berleha-leha, melainkan segera mengarahkan fokus dan energi yang tersisa untuk mencari keridhaan Allah melalui bentuk ibadah yang lain (ayat 8). Ini adalah pola pikir pertumbuhan (growth mindset) yang diajarkan sejak 14 abad yang lalu.
Untuk benar-benar menghargai kedalaman QS. Insyirah Ayat 8, kita harus melihatnya sebagai kesimpulan logis dari janji-janji sebelumnya.
Pesan keseluruhannya adalah: Jangan pernah beristirahat dari ketaatan. Gunakan energi yang baru didapat dari kemudahan tersebut untuk beribadah lebih giat. Inilah esensi dari tawakal yang aktif—bekerja keras di dunia namun selalu siap untuk beralih ke ibadah berikutnya seolah-olah itu adalah tugas terpenting yang belum terselesaikan.
Oleh karena itu, Ayat 8 bukan sekadar penutup, melainkan sebuah instruksi abadi tentang manajemen energi spiritual dan duniawi: Selesaikan satu tugas dengan ikhlas, lalu segera tegakkan kembali niat dan kesungguhanmu untuk tugas ketaatan selanjutnya, karena rahmat Allah selalu menyertai setiap usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.