Surat Al-Fatihah, sering dijuluki Ummul Kitab (Induk Al-Qur'an), adalah fondasi spiritual bagi setiap Muslim. Setiap ayatnya mengandung makna yang sangat mendalam dan terstruktur. Setelah memuji Allah (ayat 1-3), fokus kita beralih ke inti pengakuan tauhid dan pengabdian, yang terletak pada ayat keempat.
Ayat keempat ini adalah titik balik penting dalam surat tersebut. Setelah menyatakan bahwa Allah adalah Rabbul 'alamin (Tuhan semesta alam) dan Ar-Rahman Ar-Rahim (Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), kita diperkenalkan pada sifat-Nya yang mutlak: Mālikiyawmid-dīn. Kata Mālik berarti 'Pemilik', 'Penguasa', atau 'Yang Memiliki'.
Penekanan pada kata Mālik di sini sangat krusial. Ia menegaskan bahwa di hari kiamat kelak, semua klaim kepemilikan duniawi akan lenyap. Kerajaan, kekayaan, jabatan, dan kekuatan fana yang kita miliki akan menjadi tidak berarti. Hanya Allah SWT yang akan memegang otoritas tunggal, tanpa mitra, tanpa tandingan, dan tanpa penentang.
Perlu dibedakan antara Mālik (Pemilik Mutlak) dan Malik (Raja). Dalam beberapa konteks, kata yang mirip digunakan untuk raja. Namun, ketika merujuk pada Hari Pembalasan, Allah menggunakan Mālik. Ini menyiratkan bahwa Raja (Malik) mungkin memiliki kekuasaan terbatas atau bisa saja tunduk pada hukum atau konstitusi tertentu. Sebaliknya, Mālik adalah pemilik sejati yang menciptakan hukum itu sendiri.
Di dunia, kita melihat raja-raja duniawi memerintah, tetapi kekuasaan mereka relatif dan fana. Mereka bisa digulingkan, mati, atau kekuasaan mereka terbagi. Ayat ini menjamin bahwa pada Hari Kiamat, tidak ada lagi pembagian kekuasaan. Setiap keputusan, setiap perhitungan, dan setiap ganjaran atau hukuman sepenuhnya berada di bawah kendali-Nya. Inilah ketenangan sekaligus ketegasan yang dibawa oleh ayat ini.
Konsep Yawm ad-Dīn (Hari Pembalasan/Hari Penghakiman) berfungsi sebagai pengingat konstan akan akuntabilitas. Mengucapkan ayat ini dalam shalat kita setiap hari adalah cara untuk menyegarkan memori bahwa semua tindakan kita dicatat, dan akan ada pertanggungjawaban penuh di hadapan Sang Pemilik Segala Urusan.
Pengetahuan bahwa ada Hari Penghakiman mendorong seorang mukmin untuk hidup dengan integritas. Ini memotivasi kita untuk menahan diri dari kezaliman, karena meskipun kita mungkin lolos dari hukum dunia, kita tidak akan pernah bisa lolos dari pengawasan dan penghakiman Allah. Rasa takut akan ketidakadilan di dunia berganti dengan kepastian akan keadilan mutlak di akhirat.
Ayat keempat ini menjadi jembatan logis. Setelah memuji Allah sebagai Pemilik yang Maha Pengasih, kita mengakui bahwa kasih sayang-Nya itu berpuncak pada keadilan-Nya di Hari Pembalasan. Tidak ada yang akan diperlakukan sewenang-wenang. Kemudian, ayat kelima segera merespons pengakuan ini:
Inilah respons alami terhadap pengakuan kepemilikan mutlak. Karena Engkaulah pemilik hari pembalasan, maka hanya kepada-Mulah kami beribadah dan memohon pertolongan. Pengakuan kekuasaan tunggal (ayat 4) memvalidasi totalitas pengabdian dan permohonan pertolongan (ayat 5). Kedua ayat ini tidak dapat dipisahkan dalam membangun kerangka iman seorang Muslim.
Secara keseluruhan, QS Al-Fatihah ayat 4, Mālikiyawmid-dīn, adalah deklarasi fundamental bahwa Allah adalah penguasa tertinggi yang kepemilikannya tidak terbagi, yang keadilannya pasti terwujud pada waktu yang telah Dia tetapkan. Pengakuan ini membentuk pondasi ketundukan total dalam Islam.