Makanan babi adalah sebuah topik yang kaya dan kompleks, menyentuh aspek kuliner, budaya, agama, dan ekonomi di seluruh dunia. Dalam banyak kebudayaan, daging babi (swine meat) adalah salah satu sumber protein hewani yang paling umum dikonsumsi, sementara di sisi lain, konsumsinya dilarang keras karena alasan keyakinan agama. Memahami apa itu makanan babi memerlukan pandangan yang luas mengenai bagaimana hewan ini diolah dan bagaimana ia berintegrasi dalam pola makan masyarakat global.
Secara umum, daging babi dihargai karena teksturnya yang kaya lemak dan rasanya yang kuat, menjadikannya bahan dasar yang sangat serbaguna di dapur. Dari segi nutrisi, daging babi menyediakan protein berkualitas tinggi, vitamin B kompleks, serta mineral penting seperti zat besi dan seng.
Di Asia Timur, misalnya, makanan babi memegang peranan sentral. Di Tiongkok, hidangan seperti Char Siu (babi panggang madu) atau Dongpo Rou (samcan masak merah) adalah ikon kuliner yang dinikmati luas. Di Korea, Samgyeopsal (samgyupsal), yaitu irisan perut babi yang dipanggang langsung di meja makan, merupakan pengalaman sosial yang tak terpisahkan. Jepang juga memiliki hidangan ikonik seperti Tonkatsu (potongan daging babi goreng tepung) yang populer secara global.
Perpindahan ke Eropa, olahan babi menghasilkan produk yang lebih berfokus pada pengawetan. Sosis dan daging olahan adalah contoh utama. Italia terkenal dengan Prosciutto (ham mentah yang dikeringkan), sementara Spanyol memiliki Jamón Ibérico. Di Jerman, berbagai jenis sosis (wurst) dari babi menjadi tulang punggung industri makanan mereka. Teknik pengasinan, pengasapan, dan pengeringan memungkinkan daging babi bertahan lama sebelum adanya teknologi pendingin modern.
Tidak semua wilayah di dunia memandang daging babi sebagai komoditas pangan yang sama. Untuk beberapa agama besar, makanan babi adalah sesuatu yang tabu atau haram. Dalam Yudaisme dan Islam, konsumsi babi secara eksplisit dilarang dalam teks-teks suci mereka. Larangan ini tidak hanya bersifat ritualistik tetapi juga membentuk identitas budaya dan komunitas bagi para penganutnya selama berabad-abad.
Di wilayah dengan mayoritas penduduk beragama tersebut, industri makanan babi hampir tidak ada atau sangat terbatas pada segmen turis atau minoritas non-muslim/non-yahudi. Hal ini secara langsung memengaruhi rantai pasok makanan dan preferensi pasar lokal. Misalnya, di negara-negara mayoritas Muslim, daging sapi, ayam, dan domba mendominasi pasar protein hewani.
Secara ekonomi, peternakan babi adalah industri agrikultur yang masif. Babi dikenal memiliki efisiensi konversi pakan yang baik, artinya mereka dapat mengubah pakan menjadi daging relatif cepat dibandingkan dengan ternak lain. Oleh karena itu, di banyak negara produsen besar seperti Tiongkok, Amerika Serikat, dan Jerman, peternakan babi menyumbang porsi signifikan dari produksi daging nasional.
Namun, industri ini juga menghadapi tantangan modern, termasuk isu kesejahteraan hewan, dampak lingkungan dari limbah peternakan, dan risiko penyakit menular seperti Demam Babi Afrika (ASF) yang dapat melumpuhkan seluruh sektor peternakan dalam waktu singkat. Pengelolaan yang berkelanjutan menjadi kunci agar makanan babi tetap tersedia secara global.
Di Indonesia, negara dengan mayoritas penduduk Muslim, konsumsi daging babi terbatas pada komunitas tertentu, terutama di Bali (mayoritas Hindu), Tionghoa-Indonesia, dan beberapa daerah dengan populasi non-Muslim lainnya. Di daerah seperti Bali, hidangan seperti Babi Guling (babi utuh dipanggang dengan bumbu kaya rempah) adalah hidangan seremonial dan kuliner yang sangat dihargai. Di tempat lain, seperti di Manado (Sulawesi Utara), Babi Rica-Rica atau Tinutuan (bubur Manado) seringkali menyajikan olahan babi sebagai pilihan utama bagi non-Muslim.
Bagi komunitas yang mengonsumsinya, daging babi tidak hanya dilihat sebagai sumber nutrisi tetapi juga sebagai bagian integral dari tradisi perayaan, adat istiadat, dan identitas kuliner lokal.
Kesimpulannya, makanan babi adalah sesuatu yang sangat bervariasi dari perspektif global—mulai dari kelezatan yang sangat dicari dalam masakan mewah hingga zat yang harus dihindari berdasarkan keyakinan. Pemahaman tentangnya memerlukan apresiasi terhadap keragaman budaya yang membentuk cara kita memandang dan mengolah sumber daya pangan.