Surat Al-Ikhlas, yang merupakan surah ke-112 dalam Al-Qur'an, sering kali disebut sebagai 'sepertiga Al-Qur'an'. Sebutan ini bukan tanpa alasan; surat yang singkat namun padat ini memuat inti dari ajaran Islam, yakni penegasan mutlak terhadap konsep tauhid—keesaan Allah SWT. Kalimat pembukanya, "Kulhuallahu Ahad" (Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa), adalah deklarasi teologis yang paling fundamental. Kalimat ini berfungsi sebagai benteng pertahanan spiritual melawan segala bentuk kesyirikan dan penyimpangan pemahaman tentang hakikat Tuhan.
Ketika kita mengucapkan "Kulhuallahu Ahad," kita sedang melakukan sebuah pengakuan serius. Kata "Ahad" memiliki kedalaman makna yang melampaui sekadar angka satu. Ia menyiratkan keunikan, ketunggalan yang absolut, yang tidak mungkin memiliki sekutu, pasangan, atau bandingkan. Ini adalah penolakan tegas terhadap politeisme dan antropomorfisme (menggambarkan Tuhan dengan sifat-sifat makhluk).
Keesaan Allah yang ditegaskan dalam "Kulhuallahu Ahad" mencakup seluruh dimensi eksistensi-Nya. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa keesaan ini terbagi menjadi tiga aspek utama yang kemudian dijelaskan dalam ayat-ayat berikutnya: Keesaan dalam Zat (Dzat-Nya), Keesaan dalam Sifat (Sifat-sifat-Nya), dan Keesaan dalam Perbuatan (Af'al-Nya).
Allah adalah Yang Maha Esa dalam Zat-Nya, artinya tidak ada substansi lain yang sebanding dengan-Nya. Ia tidak tersusun dari bagian-bagian, tidak memerlukan entitas lain untuk ada. Dalam konteks ini, ayat "Allahus Shamad" (Allah Yang Maha Dibutuhkan) menyusul untuk menegaskan bahwa Dialah satu-satunya sumber segala kebutuhan alam semesta. Semua makhluk bergantung kepada-Nya, namun Dia sendiri Maha Kaya dan tidak bergantung kepada siapa pun. Kontras antara kebergantungan mutlak makhluk dan kemandirian absolut Sang Pencipta adalah inti dari penegasan "Ahad" ini.
Pengulangan dan perenungan terhadap frasa "Kulhuallahu Ahad" membawa dampak signifikan pada kondisi spiritual seorang mukmin. Dalam menghadapi kesulitan hidup, pengetahuan bahwa hanya ada satu sumber kekuatan yang absolut memberikan ketenangan yang tak tertandingi. Ketika seseorang menyadari bahwa satu-satunya entitas yang Maha Sempurna dan Maha Kuasa adalah Allah Yang Maha Esa, maka kekhawatiran terhadap makhluk lain atau ketergantungan berlebihan pada harta benda akan memudar.
Ini adalah fondasi dari rasa aman sejati (sakinah). Rasa aman itu lahir bukan dari kondisi eksternal yang stabil, melainkan dari keyakinan internal bahwa di balik segala peristiwa, ada Pengatur Tunggal yang Maha Bijaksana. Surat Al-Ikhlas, dimulai dari "Kulhuallahu Ahad", mengajarkan fokus. Ia mengarahkan seluruh perhatian, harapan, dan ibadah hanya kepada satu titik pusat eksistensi—Allah SWT. Ini memurnikan niat (ikhlas) karena tujuan akhir ibadah tidak terbagi oleh kepentingan duniawi yang fana.
Ayat-ayat setelah "Kulhuallahu Ahad" secara eksplisit melengkapi definisi keesaan ini. Ayat "Lam Yalid wa Lam Yulad" (Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan) secara langsung membantah pandangan-pandangan yang merendahkan kesucian Allah dengan menyamakan-Nya dengan konsep penciptaan makhluk, baik dalam hal keturunan maupun asal-usul. Allah tidak memiliki awal seperti makhluk yang diciptakan, dan Dia tidak melahirkan seperti makhluk yang bereproduksi.
Puncak dari definisi ketuhanan ini ditutup dengan "Wa lam yakun lahu kufuwan ahad" (dan tiada seorang pun yang setara dengan Dia). Kata "kufuwan" berarti tandingan atau padanan. Penegasan ini merupakan klimaks dari doktrin tauhid. Tidak ada entitas di alam semesta, baik yang terlihat maupun yang gaib, yang memiliki kesamaan sifat, kedudukan, atau kekuatan dengan Allah. Inilah inti ajaran yang dibawa oleh para Nabi, dimulai dengan seruan tegas dan jelas dari Rasulullah SAW melalui firman-Nya: "Kulhuallahu Ahad". Memahami dan mengamalkan konsep ini adalah kunci untuk hidup yang lurus dan diterima di sisi-Nya.