Dalam ajaran Islam, ibadah bukan sekadar ritual fisik yang dilakukan berdasarkan urutan tertentu. Inti dari setiap amalan, baik shalat, puasa, zakat, maupun haji, terletak pada kualitas hati pelakunya. Kualitas fundamental yang menentukan penerimaan amal tersebut adalah ikhlas. Ikhlas berarti memurnikan niat semata-mata karena Allah SWT, tanpa mengharapkan pujian manusia, balasan duniawi, atau ketenaran.
Secara bahasa, ikhlas berarti murni atau bersih. Dalam konteks ibadah, ikhlas adalah keadaan batin di mana seorang hamba hanya mencari keridhaan Tuhannya. Ini adalah pemisahan total antara tujuan duniawi dan tujuan ukhrawi. Ketika seseorang beramal dengan ikhlas, ia meyakini bahwa hanya Allah yang mengetahui niat tersembunyinya, dan hanya Dialah yang berhak memberi ganjaran. Keadaan ini kontras dengan syirk khafi (syirik tersembunyi), yaitu melakukan kebaikan namun mengharapkan apresiasi dari makhluk.
Salah satu keutamaan terbesar dari surat ikhlas (niat yang tulus) adalah janji pahala yang tidak terputus dan tidak terbatas. Jika seseorang melakukan amal kebaikan, misalnya sedekah, namun niatnya ada dua (karena Allah dan ingin dipuji), maka pahalanya terbagi. Namun, ketika niatnya tunggal, yakni mencari ridha Allah, maka ganjaran yang dijanjikan adalah surga dan ampunan abadi. Para ulama sering mengutip hadis yang menyatakan bahwa niat seorang mukmin bisa lebih baik daripada amalnya. Ini menunjukkan betapa berharganya niat yang bersih.
Bahkan, dalam beberapa riwayat, disebutkan bahwa seseorang yang memiliki niat untuk melakukan amal saleh namun terhalang untuk melakukannya karena sebab yang sah (misalnya sakit), ia tetap mendapatkan pahala penuh seolah-olah ia telah melakukannya. Hal ini murni karena kesungguhan dan kemurnian niatnya yang tertanam kuat dalam hati.
Ikhlas berfungsi sebagai benteng pertahanan terhadap penyakit hati yang paling berbahaya, yaitu kesombongan (kibr) dan riya'. Ketika seseorang sadar bahwa amalnya adalah karunia dari Allah dan ia tidak memiliki hak untuk menyandangnya sebagai pencapaian pribadi, maka rasa syukur akan tumbuh dan kesombongan akan sirna. Seseorang yang ikhlas akan merasa bahwa ia selalu kurang dan membutuhkan rahmat Allah, sehingga ia akan terus berusaha memperbaiki kualitas amalnya.
Orang yang beramal karena ingin dipuji manusia, ketika pujian itu hilang atau diganti dengan celaan, semangatnya akan padam. Namun, orang yang ikhlas akan tetap teguh dalam ketaatannya, sebab sumber motivasinya adalah Dzat yang tidak pernah berubah dan tidak pernah ingkar janji.
Keutamaan lain dari ikhlas adalah membawa ketenangan batin (sakinah). Proses ibadah yang disertai rasa terbebani oleh pandangan orang lain akan menimbulkan stres dan kegelisahan. Sebaliknya, ketika seseorang menyadari bahwa ia sedang memenuhi kewajiban mulia kepada Sang Pencipta, ia akan merasakan kedamaian. Tidak ada lagi beban untuk "berakting" atau "mempertahankan citra" di hadapan manusia. Fokusnya beralih sepenuhnya pada kualitas hubungan pribadinya dengan Allah.
Ikhlas tidak terbatas pada ritual ibadah formal. Keutamaan ini harus meresap ke dalam setiap aspek kehidupan. Bekerja dengan etos tinggi tanpa mengharapkan sanjungan berlebihan, menolong sesama tanpa pamrih, bahkan dalam memimpin atau mendidik, semuanya akan memiliki nilai ibadah jika didasari oleh niat murni untuk mencari keridhaan Allah dan menciptakan kemaslahatan. Dengan mempraktikkan keutamaan surat ikhlas, seorang muslim akan menemukan makna sejati dari pengabdiannya, menjadikan hidupnya sebagai rangkaian ibadah yang bernilai kekal.