Dalam dunia tata kelola, hukum, maupun interaksi sosial sehari-hari, kita sering kali menjumpai frasa Latin yang elegan, salah satunya adalah de facto adalah. Frasa ini memiliki peran penting dalam menjelaskan situasi atau kondisi yang eksis dalam praktik, meskipun mungkin tidak secara resmi diakui oleh undang-undang atau aturan formal. Memahami perbedaan antara kondisi de facto dan de jure sangat krusial untuk menganalisis realitas di lapangan.
Secara harfiah, de facto berasal dari bahasa Latin yang berarti "berdasarkan fakta" atau "pada kenyataannya". Ketika kita mengatakan bahwa sesuatu de facto adalah suatu kondisi, kita merujuk pada keadaan yang terjadi dan diterima secara luas dalam praktik, terlepas dari apakah ada dokumen resmi, undang-undang, atau deklarasi yang mendukungnya. Ini adalah bagaimana sesuatu benar-benar berjalan dalam kehidupan nyata.
Bayangkan sebuah perusahaan. Secara legal (de jure), Direktur Utama adalah orang yang namanya tercantum dalam akta pendirian. Namun, mungkin ada seorang manajer senior yang karena pengaruh, pengalaman, dan keputusannya sehari-hari, dialah yang sebenarnya memegang kendali penuh atas operasional dan strategi perusahaan. Dalam konteks ini, manajer senior tersebut de facto adalah pengambil keputusan utama, meskipun bukan secara resmi memegang jabatan tertinggi.
Untuk benar-benar menghargai makna de facto, kita perlu membandingkannya dengan pasangannya, yaitu de jure (berdasarkan hukum). De jure mengacu pada kondisi yang diakui oleh hukum, konstitusi, atau peraturan resmi. Jika ada ketidaksesuaian antara apa yang tertulis dalam dokumen resmi dan apa yang terjadi di lapangan, maka situasi yang terjadi di lapangan itulah yang de facto adalah realitasnya.
Dalam sistem pemerintahan, misalnya, sebuah negara mungkin secara konstitusional memiliki ibukota yang ditetapkan di Kota A (de jure). Namun, karena alasan keamanan atau ekonomi, semua kantor pemerintahan penting, kedutaan besar, dan pusat bisnis telah pindah ke Kota B. Maka, Kota B de facto adalah pusat pemerintahan dan ekonomi negara tersebut.
Konsep de facto adalah ini sangat relevan dalam berbagai disiplin ilmu:
Di bidang politik, seringkali ada pemimpin atau rezim yang secara de facto adalah penguasa suatu wilayah, meskipun mereka tidak diakui secara internasional atau bahkan secara konstitusional tidak memiliki hak untuk memimpin. Contoh historis banyak terjadi dalam kudeta di mana kekuasaan beralih tangan melalui kekuatan militer, menjadikan panglima militer sebagai pemimpin de facto.
Dalam teknologi dan bahasa, standar de facto sering kali muncul tanpa melalui badan standardisasi resmi. Misalnya, format file tertentu menjadi sangat populer dan digunakan secara universal karena adopsi pasar yang masif, sehingga format tersebut de facto adalah standar industri, bahkan jika standar resmi yang ditetapkan badan internasional berbeda.
Dalam konteks hubungan sosial, status de facto dapat merujuk pada pengakuan informal. Sepasang individu yang hidup bersama, berbagi tanggung jawab, dan diakui oleh komunitas sebagai pasangan, meskipun mereka belum menikah secara hukum, dapat dikatakan memiliki hubungan setara de facto adalah perkawinan.
Membedakan antara kondisi de facto dan de jure penting karena ini membantu kita menghindari kesalahpahaman. Berpegang teguh pada hukum (de jure) tanpa mengakui kenyataan di lapangan (de facto) dapat menyebabkan kebijakan yang tidak efektif atau penilaian yang salah terhadap situasi sebenarnya. Sebaliknya, mengabaikan kerangka hukum (de jure) demi praktik semata bisa mengarah pada anarki atau pelanggaran hak.
Ketika suatu kondisi de facto adalah dominan dan bertahan lama, seringkali terjadi dorongan untuk mereformasinya agar sesuai dengan kerangka hukum. Proses ini mengubah fakta di lapangan menjadi keabsahan resmi. Oleh karena itu, frasa de facto adalah adalah lensa kritis yang memungkinkan kita melihat melampaui permukaan formalitas menuju esensi operasional dari suatu sistem atau situasi.
Kesimpulannya, setiap kali Anda mendengar atau membaca bahwa sesuatu de facto adalah suatu hal, ingatlah bahwa ini merujuk pada kebenaran pragmatis—apa yang terjadi di dunia nyata, berbeda atau sama dengan apa yang tertulis di atas kertas.