Bandar Udara Internasional Adisutjipto, yang sebelumnya dikenal sebagai Pangkalan Udara Angkatan Udara Yogyakarta (PLA AU Yogyakarta), merupakan salah satu peninggalan sejarah penerbangan di Indonesia. Terletak di Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, bandara ini memiliki peran ganda sebagai fasilitas sipil dan pangkalan militer. Meskipun kini peran penerbangan komersial utamanya telah dialihkan ke Bandara Internasional Yogyakarta (YIA) di Kulon Progo, Adisutjipto tetap memegang posisi penting dalam sejarah penerbangan regional dan tetap melayani penerbangan tertentu serta kegiatan udara lainnya.
Nama Adisutjipto diambil dari nama Komodor Udara Agustinus Adisutjipto, seorang perintis penerbangan Indonesia yang gugur dalam tugas pada tahun 1947. Pendirian bandara ini berakar dari masa kolonial Belanda, menjadikannya salah satu landasan pacu tertua di Jawa. Selama masa perjuangan kemerdekaan, bandara ini menjadi titik vital untuk transportasi dan logistik. Keberadaannya yang berada di tengah kota Yogyakarta memberikan aksesibilitas yang unik, meskipun seiring perkembangan zaman dan peningkatan trafik udara, lokasi tersebut menimbulkan tantangan terkait keselamatan operasional dan perluasan fasilitas.
Transisi signifikan terjadi ketika pemerintah memutuskan untuk membangun bandara baru untuk menggantikan peran utama Adisutjipto dalam melayani penerbangan komersial jarak jauh. Keputusan ini didasarkan pada keterbatasan lahan untuk ekspansi dan faktor kebisingan di area perkotaan. Meskipun demikian, fasilitas di Adisutjipto telah melayani jutaan penumpang selama puluhan tahun, menjadi gerbang utama bagi wisatawan yang mengunjungi destinasi budaya dan wisata di Yogyakarta dan sekitarnya, seperti Candi Borobudur dan Prambanan.
Secara historis, Adisutjipto memiliki dua landasan pacu paralel yang sempat digunakan, namun konfigurasi operasionalnya telah disesuaikan mengikuti kebutuhan militer dan sipil yang ada. Fasilitas terminalnya dirancang untuk menampung arus penumpang domestik dan internasional, meskipun volume penerbangan komersial internasionalnya lebih terbatas dibandingkan bandara utama lainnya di Indonesia. Arsitektur bangunan terminalnya seringkali memadukan unsur modern dengan sentuhan lokal yang mencerminkan kekayaan budaya Yogyakarta.
Saat ini, peran Bandara Internasional Adisutjipto telah bertransformasi. Fokus operasionalnya lebih diarahkan untuk mendukung kegiatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Udara, terutama yang berkaitan dengan Sekolah Penerbang TNI AU. Namun, bandara ini tidak sepenuhnya kehilangan fungsi sipilnya. Beberapa maskapai masih mempertahankan rute-rute domestik tertentu, terutama penerbangan jarak pendek atau penerbangan carter, memanfaatkan lokasi strategisnya yang dekat dengan pusat kota. Hal ini memastikan bahwa warisan Adisutjipto sebagai gerbang udara Yogyakarta tetap lestari, meskipun dalam skala yang berbeda.
Bagi masyarakat dan pemerintah daerah, Adisutjipto adalah simbol konektivitas udara yang telah berlangsung lama. Keberhasilannya dalam menghubungkan Yogyakarta dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia selama beberapa dekade tidak dapat diabaikan. Banyak maskapai penerbangan nasional yang menjadikan Adisutjipto sebagai salah satu rute penting mereka sebelum adanya pemindahan besar-besaran. Kawasan di sekitar bandara juga mengalami perkembangan signifikan berkat aktivitas penerbangan yang intensif selama masa jayanya.
Kehadiran pangkalan udara militer di lokasi yang sama juga menegaskan pentingnya bandara ini bagi pertahanan negara. Sinergi antara operasional sipil dan militer di Adisutjipto telah menjadi studi kasus tersendiri dalam manajemen ruang udara. Meskipun lanskap penerbangan regional telah berubah dengan hadirnya YIA, kenangan dan infrastruktur yang dibangun di Bandara Adisutjipto akan terus menjadi bagian integral dari narasi pembangunan infrastruktur transportasi di Pulau Jawa. Bandara ini akan selalu dikenang sebagai "Bandara Lama" yang penuh cerita bagi warga Yogyakarta dan para pelancong yang pernah mendarat atau lepas landas dari sana.