Dalam jagat kuliner Indonesia, ada beberapa hidangan yang memegang status ikonik, dan bakmi kuning adalah salah satunya. Bukan sekadar mi biasa, bakmi kuning mewakili perpaduan harmonis antara warisan Tionghoa yang mendalam dengan cita rasa yang telah terasimilasi sempurna ke dalam lidah masyarakat Nusantara. Kehadirannya mudah ditemukan, dari gerobak pinggir jalan yang sederhana hingga restoran mewah yang menyajikan interpretasi modern.
Daya tarik utama bakmi kuning terletak pada warnanya yang cerah. Warna kuning keemasan ini bukan hasil pewarna buatan semata, melainkan berasal dari penggunaan telur yang cukup banyak dalam adonan mi, atau kadang diperkuat dengan sedikit pewarna alami seperti kunyit atau beta-karoten. Proporsi telur yang tepat inilah yang memberikan tekstur kenyal namun sedikit padat—atau yang sering disebut "al dente" ala Asia—saat digigit. Mi ini harus mampu menahan bumbu tanpa menjadi lembek, sebuah tantangan teknis bagi pembuatnya.
Proses pembuatan bakmi kuning tradisional seringkali melibatkan teknik pengulenan yang intensif, terkadang menggunakan mesin khusus yang memberikan tekanan tinggi. Setelah diuleni, adonan didiamkan, lalu digiling tipis dan dipotong menjadi helai-helai yang seragam. Kunci kelezatan berikutnya adalah perebusan. Bakmi yang sempurna direbus singkat dalam air mendidih hingga matang sempurna, kemudian segera diangkat dan disiram air dingin (atau minyak panas) untuk menghentikan proses pematangan dan mencegah mi saling menempel. Hasilnya adalah mi yang mengkilap, terpisah satu sama lain, siap menerima siraman minyak bawang atau kaldu.
Meskipun dasarnya sama, penyajian bakmi kuning sangat bervariasi di seluruh kepulauan Indonesia. Paling umum, kita mengenal Bakmi Ayam, di mana mi disajikan dengan suwiran ayam berbumbu kecap manis atau gurih asin. Topping ini seringkali menjadi penentu karakter utama rasa. Ada pula versi kering (yamien) yang disajikan tanpa kuah berlebih, hanya dibalut dengan minyak bumbu, bawang putih cincang, dan sedikit kecap asin, sehingga rasa asli dari mi lebih menonjol.
Namun, kenikmatan bakmi kuning tidak lengkap tanpa pendampingnya. Hampir semua sajian bakmi kuning akan ditemani dengan sayuran hijau segar seperti sawi atau pokcoy yang direbus sebentar, memberikan sedikit rasa pahit yang kontras dengan gurihnya mi. Selain itu, ada tambahan wajib seperti irisan bakso sapi, pangsit rebus atau goreng, serta acar cabai rawit hijau yang memberikan tendangan pedas segar. Variasi daerah juga menawarkan keunikan tersendiri, misalnya penambahan minyak babi (bagi yang mengonsumsi) untuk aroma yang lebih kaya atau penggunaan kuah kaldu kaldu dari tulang ayam atau sapi yang direbus berjam-jam.
Bagi banyak orang Indonesia, bakmi kuning lebih dari sekadar makanan; ia adalah memori masa kecil. Aroma minyak bawang yang tercium saat penjual mengaduk mi di mangkuk, suara seruputan yang keras, dan sensasi hangatnya hidangan di pagi hari atau larut malam, semuanya menciptakan sebuah pengalaman sensorik yang sulit tergantikan. Fleksibilitasnya menjadikannya pilihan utama, baik sebagai sarapan cepat, makan siang praktis, maupun santapan pengobat lapar di tengah malam.
Dengan kesederhanaan bahan dasar namun kompleksitas rasa yang bisa diciptakan, bakmi kuning membuktikan bahwa kuliner autentik seringkali ditemukan dalam hidangan yang paling bersahaja. Keberadaannya yang terus lestari menunjukkan betapa kuatnya akar budaya kuliner ini dalam identitas pangan Indonesia. Siapapun yang belum mencoba kenikmatan otentik dari semangkuk bakmi kuning hangat, seolah belum sepenuhnya menjelajahi kekayaan rasa yang ditawarkan oleh warisan kuliner Tionghoa-Indonesia.