Menelaah Polemik Sensitif: Adzan Disamakan dengan Gonggongan Anjing

Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, menempatkan adzan sebagai salah satu penanda akustik paling fundamental dalam kehidupan sehari-hari. Suara panggilan shalat ini memiliki kedudukan sakral, dihormati oleh mayoritas masyarakat sebagai representasi ibadah dan identitas keagamaan. Namun, belakangan ini, muncul fenomena sosial yang sangat mengkhawatirkan dan sensitif, yaitu ketika suara adzan disamakan, dicemooh, atau bahkan dilecehkan dengan menyebutnya setara dengan gonggongan anjing.

Dimensi Keagamaan dan Penghinaan Simbol Sakral

Dalam perspektif Islam, adzan adalah seruan yang ditetapkan secara syar’i untuk mengumpulkan umat melaksanakan shalat. Lafadznya telah baku dan dihafal oleh miliaran Muslim. Menyamakan adzan dengan suara binatang, khususnya gonggongan anjing—yang dalam banyak interpretasi keagamaan dianggap sebagai simbol kenajisan atau sesuatu yang hina—merupakan bentuk penghinaan yang sangat mendalam terhadap syiar Islam. Ini bukan sekadar kritik terhadap volume atau durasi, melainkan penyerangan langsung terhadap substansi ritual keagamaan.

Bagi umat Islam, tindakan semacam ini melampaui batas kebebasan berekspresi. Ia menyentuh ranah penodaan agama, karena merendahkan simbol yang diyakini sebagai perintah ilahi. Reaksi yang muncul dari komunitas Muslim seringkali bersifat emosional dan keras, mengingat betapa pentingnya penghormatan terhadap simbol-simbol ibadah, sejalan dengan prinsip menjaga kehormatan agama (hifz al-din).

Adzan ALLAH Gonggongan !

Ilustrasi kontras simbol yang disalahgunakan dalam narasi polemik.

Dampak Sosial dan Potensi Konflik

Di tengah masyarakat multikultural dan multireligius seperti Indonesia, mereduksi adzan menjadi perbandingan yang menghina dapat memicu friksi sosial yang serius. Meskipun pembuat pernyataan mungkin berdalih bahwa itu hanyalah ekspresi ketidaknyamanan terhadap kebisingan (noise pollution), konteks perbandingan dengan anjing seringkali dipandang sebagai provokasi bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).

Ketegangan sosial seringkali bermula dari kesalahpahaman atau pelecehan simbolis. Ketika sebuah komunitas merasa simbol sucinya diinjak-injak, reaksi yang dihasilkan cenderung cepat menyebar melalui media sosial dan memicu mobilisasi massa. Kasus-kasus seperti ini memerlukan respons cepat dari aparat penegak hukum dan tokoh masyarakat untuk meredam narasi kebencian sebelum berkembang menjadi konflik fisik.

Mengelola Kebisingan Tanpa Merendahkan Nilai

Penting untuk membedakan antara kritik terhadap manajemen suara (misalnya, intensitas volume yang terlalu tinggi di area perumahan padat) dengan pelecehan identitas agama. Jika isu yang dihadapi adalah polusi suara, seharusnya solusi ditempuh melalui dialog yang konstruktif dengan pengurus masjid setempat, bukan melalui retorika yang merendahkan adzan itu sendiri.

Pemerintah daerah dan tokoh agama memiliki peran krusial dalam memediasi hal ini. Adanya regulasi mengenai tata cara penyiaran adzan yang mengatur batas desibel di wilayah padat penduduk adalah pendekatan yang lebih bijak. Regulasi ini harus dijalankan secara adil, menghormati hak beribadah sekaligus menjaga ketenangan lingkungan bagi non-Muslim.

Namun, ketika narasi "adzan disamakan dengan gonggongan anjing" muncul, tujuannya seringkali bukan untuk mencari solusi teknis, melainkan untuk memprovokasi dan menyebarkan kebencian terhadap identitas keagamaan tertentu. Hal ini memerlukan penanganan serius berdasarkan undang-undang yang berlaku mengenai ujaran kebencian, demi menjaga keharmonisan sosial yang rapuh.

Pada akhirnya, peradaban yang matang adalah peradaban yang mampu menghargai perbedaan keyakinan, bahkan ketika perbedaan itu diwujudkan dalam bentuk suara yang terdengar setiap hari. Suara adzan adalah panggilan spiritual; ia layak mendapatkan penghormatan, bukan disamakan dengan objek yang bertujuan menjatuhkan martabatnya.

🏠 Homepage