Dunia pesantren secara tradisional dikenal sebagai benteng utama penjaga nilai-nilai luhur, akhlak mulia, dan disiplin ketat. Namun, ketika era milenial tiba, di mana digitalisasi merasuk ke setiap sendi kehidupan, tantangan bagi santri modern menjadi semakin kompleks. Bagaimana seorang santri, yang terbiasa hidup dalam lingkungan yang terstruktur dan berbasis pada interaksi tatap muka, menavigasi derasnya arus informasi dan budaya digital?
Adab Santri adalah pondasi yang tak terpisahkan dari identitas seorang penuntut ilmu agama. Adab ini mencakup tata krama terhadap guru (kyai/ustadz), sesama teman (santri), pengurus pondok, hingga etika dalam menggunakan fasilitas. Di era sekarang, ruang lingkup adab ini meluas, mencakup etika dalam dunia maya.
Ilustrasi Konvergensi Nilai Tradisional dan Digital
Evolusi Etika Komunikasi Digital
Dulu, adab santri sangat terlihat dalam cara berbicara, berjalan, dan menyikapi perbedaan pendapat di majelis ilmu. Kini, interaksi sering terjadi melalui pesan instan, media sosial, atau forum online. Adab santri milenial menuntut penerapan 'sopan santun lisan' ke dalam bentuk 'sopan santun digital'. Ini berarti menghindari hoax, tidak mudah menghakimi (ghibah digital), dan menjaga bahasa agar tetap hormat, meskipun berkomentar di ruang publik yang anonim.
Seorang santri harus mampu memfilter informasi. Kualitas ilmu yang didapat di pesantren tidak hanya tentang hafalan, tetapi juga tentang cara memproses dan menyebarkan kebenaran. Penggunaan media sosial harus sejalan dengan prinsip 'billahi atsar', yaitu mengambil yang bermanfaat dan meninggalkan yang mudharat. Jika dahulu mereka diajarkan untuk tidak membuang sisa makanan, kini mereka diajarkan untuk tidak membuang waktu dan energi untuk konten yang sia-sia atau merusak.
Adab digital santri bukan berarti menolak teknologi, melainkan mengendalikan teknologi sesuai koridor akhlak Islam. Smartphone adalah alat, bukan tuan.
Disiplin Diri di Tengah Kemudahan Akses
Pesantren mengajarkan disiplin waktu yang ketat: jadwal mengaji, shalat berjamaah, dan tugas harian. Era milenial membawa kemudahan akses yang ironisnya dapat merusak disiplin tersebut. Notifikasi tak berkesudahan dari aplikasi hiburan atau berita dapat mengikis fokus belajar. Adab santri milenial ditunjukkan melalui kemampuan mereka menerapkan 'manajemen diri' yang lebih kuat.
Mereka harus mampu menyeimbangkan antara kewajiban akademis agama (mengaji kitab kuning) dan tuntutan zaman (menguasai teknologi). Keseimbangan ini memerlukan komitmen kuat untuk tidak membiarkan kecanduan digital mengalahkan kewajiban fundamental mereka sebagai pelajar agama. Misalnya, memprioritaskan hafalan setelah Subuh ketimbang mengecek tren terbaru di media sosial.
Menjaga Keaslian Tradisi (Tawassuth)
Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana mempertahankan sikap tawassuth (moderat) ketika terekspos pada berbagai ideologi ekstrem melalui internet. Pesantren adalah mazhab Ahlussunnah wal Jama'ah, mengajarkan jalan tengah. Adab santri milenial harus tercermin dalam sikap inklusif, tidak mudah mencap sesat pada perbedaan pendapat yang masih dalam koridor syar'i, dan mampu berdialog dengan pemikiran modern tanpa kehilangan akar keilmuan.
Mereka harus menjadi jembatan. Ketika keluar dari lingkungan pesantren, santri milenial diharapkan mampu menyampaikan ajaran Islam yang moderat dengan bahasa yang dipahami kaum urban dan digital. Inilah letak kemuliaan adab mereka—bukan hanya berlaku di hadapan kyai, tetapi juga di hadapan khalayak luas yang mungkin belum mengenal nilai-nilai pesantren secara mendalam. Mereka harus mampu mentransformasi ilmu yang 'kaku' menjadi pesan yang relevan dan diterima tanpa mengurangi substansi kebenaran.
Studi Kasus: Santri dan Pengabdian Masyarakat
Pengabdian masyarakat (KKN atau program sejenis) selalu menjadi puncak kurikulum pesantren. Di era milenial, bentuk pengabdian ini diperluas. Adab santri modern terlihat ketika mereka menggunakan keahlian digital mereka untuk memajukan desa binaan, membuatkan sistem administrasi sederhana untuk masjid lokal, atau mengajarkan literasi digital kepada warga lansia. Ini adalah perwujudan nyata bahwa ilmu yang didapat di pesantren tidak hanya disimpan, tetapi juga diwujudkan dalam bentuk pelayanan yang kontekstual.
Kesimpulannya, adab santri di era milenial bukan sekadar menjaga formalitas tradisi lama. Ini adalah proses dinamis pembentukan karakter yang tangguh, berakhlak mulia, adaptif secara teknologi, namun tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip keilmuan Islam. Tantangannya berat, tetapi potensi kontribusi mereka terhadap peradaban digital Islam sangat besar, asalkan fondasi adab tetap menjadi prioritas utama.
Semoga generasi santri masa kini mampu menjadi teladan yang seimbang antara kesalehan ritual, kesalehan sosial, dan kecakapan digital, menjadikan mereka agen perubahan sejati di tengah hiruk pikuk modernitas.