Adab Berpolitik Menurut Imam Al Ghazali

Ilustrasi konsep kepemimpinan dan keadilan Al-Ghazali

Imam Abu Hamid Al-Ghazali, seorang pemikir besar dari Khorasan, dikenal luas melalui karyanya dalam tasawuf dan teologi. Namun, kontribusinya terhadap pemikiran politik Islam tidak kalah penting. Dalam pandangan Al-Ghazali, politik bukanlah sekadar arena perebutan kekuasaan, melainkan sebuah amanah suci yang terikat erat dengan prinsip-prinsip moral dan agama. Adab berpolitik yang ia gagas berpusat pada tegaknya keadilan dan kemaslahatan umat, menjadikan pemimpin sebagai penegak syariat sekaligus pelayan masyarakat.

Pondasi Politik Ghazali: Agama dan Kekuasaan

Al-Ghazali, terutama dalam kitab magnum opusnya, Ihya Ulumuddin dan risalah politiknya seperti Al-Tibr al-Makhtum fi Nasihat al-Muluk (Emas yang Tersembunyi dalam Nasihat Raja-Raja), menekankan bahwa kekuasaan (sultan) adalah tiang penyangga peradaban. Tanpa adanya otoritas politik yang sah, masyarakat akan jatuh ke dalam kekacauan (fitnah) dan anarki.

Namun, legitimasi kekuasaan ini harus bersumber dari ridha Ilahi, yang diimplementasikan melalui kepatuhan pada syariat. Politik yang baik menurut Ghazali adalah politik yang menjadikan tujuan utamanya adalah menjaga lima kebutuhan dasar (maqashid al-shariah): agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Oleh karena itu, seorang penguasa wajib menjadikan hukum Allah sebagai landasan utama dalam setiap kebijakan.

Integritas Moral Sang Penguasa

Adab berpolitik Ghazali dimulai dari pribadi pemimpin itu sendiri. Ia berpandangan bahwa seorang pemimpin yang korup atau zalim akan menularkan kerusakan itu ke seluruh struktur pemerintahan dan masyarakat. Integritas moral adalah prasyarat mutlak. Seorang penguasa harus memiliki sifat wara' (kehati-hatian spiritual), zuhud terhadap dunia, serta memiliki pengetahuan agama yang memadai agar mampu membedakan antara kebenaran dan kebatilan.

Al-Ghazali sering menggunakan metafora. Ia membandingkan penguasa yang lalai dengan seorang dokter yang mengobati orang lain tetapi mengabaikan penyakit dirinya sendiri. Jika pemimpinnya sakit secara moral, maka seluruh tubuh negara akan menderita penyakit yang sama. Seorang pemimpin harus tunduk pada kritik konstruktif dari para ulama dan penasihat yang jujur.

Keadilan Sebagai Pilar Utama

Inti dari adab berpolitik Al-Ghazali adalah tegaknya keadilan (*al-'adl*). Keadilan dalam konteks ini sangat luas, mencakup perlakuan yang setara di hadapan hukum, pembagian sumber daya yang proporsional, dan perlindungan terhadap yang lemah. Ghazali menegaskan bahwa kemakmuran suatu negara tidak diukur dari kekayaan raja, melainkan dari kesejahteraan rakyatnya.

Seorang pemimpin harus menghindari diskriminasi, baik berdasarkan suku, kekayaan, maupun afiliasi politik. Ia harus berani mengambil tindakan tegas terhadap aparatur negara yang menyalahgunakan wewenang. Ketika keadilan ditegakkan, barulah keberkahan (barakah) akan turun melimpahi negara. Jika keadilan ditinggalkan, walaupun raja tampak kuat, kekuasaannya rapuh dan rentan terhadap kehancuran.

Hubungan dengan Rakyat dan Elite

Adab politik Ghazali juga mengatur tata krama hubungan antara penguasa dengan rakyat serta elit politik lainnya. Penguasa harus bersikap lembut namun tegas. Kelembutan diperlukan dalam berinteraksi sehari-hari, sementara ketegasan dibutuhkan saat menerapkan sanksi hukum.

Mengenai para pejabat dan pembantu, Ghazali menyarankan penguasa untuk memilih mereka berdasarkan kompetensi dan kesalehan (*ahlul halli wal 'aqd*). Ia memperingatkan bahaya "orang-orang yang mencari muka" dan "pembisik jahat" yang sering mengelilingi tahta. Tugas penguasa adalah menyaring informasi dan tidak mudah terprovokasi, namun tetap membuka saluran komunikasi yang jujur dari rakyat kecil.

Etika Pengambilan Keputusan dan Transparansi

Meskipun hidup di era kekhalifahan yang sangat hierarkis, Al-Ghazali mendorong adanya bentuk akuntabilitas politik. Pengambilan keputusan harus didasarkan pada pertimbangan maslahat umum (*istislah*), bukan kepentingan pribadi atau dinasti. Seorang pemimpin harus sadar bahwa setiap keputusan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.

Adab berpolitik ini mengajarkan bahwa kekuasaan bersifat sementara, sementara tanggung jawab moral dan spiritual bersifat abadi. Oleh karena itu, dalam menjalankan roda pemerintahan, seorang pemimpin harus selalu menimbang antara tuntutan politik praktis dan tuntutan idealisme syariah. Keseimbangan inilah yang menjadi warisan abadi pemikiran politik Imam Al-Ghazali bagi dunia Islam hingga kini.

🏠 Homepage